Transformasi Abad Kedua Muhammadiyah Untuk Mencerahkan Peradaban Bangsa

Oleh: Irvan Chaniago (Ketua Umum IMM FAI UAD 2023/2024)

Muhammadiyah merupakan organisasi dakwah Islam yang begerak untuk mencerahkan umat. Dalam perekembangannya sejak awal didirikan oleh KH. Ahmad Dahlan, Muhammadiyah tetap konsisten untuk meyerukan risalah Islam kepada masyarakat. Sehingga, sampai saat ini Muhammadiyah sebagai organisasi Islam berkemajuan masih eksis dan dibutuhkan dalam membangun peradaban bangsa.

Dewasa ini, setidaknya ada tiga ranah utama Muhammadiyah dalam perannya yang dikembangkan, yaitu pendidikan (shooling), kesehatan (healing), sosial (feeding). Hal ini tidak terlepas dari spirit yang dilakukan Kiai Dahlan dengan teologi al-Ma’un. Dalam hal ini, beliau mengajarakan kepada murid-muridnya agar berdakwah tidak hanya untuk kepentingan pribadi, melainkan juga untuk membantu masyarakat miskin, agar hidup dengan layak dan juga memperoleh ilmu pengetahuan.

Muhammadiyah sangat indetik dengan spirit teologi al-Ma’un yang berbentuk dakwah amaliyah yang menjadi etos dalam perkembangannya selama seabad dalam membangun peradaban masyarakat. Memasuki abad kedua, tantangan arus globalisasi yang berkembang begitu cepat, Muhammadiyah perlu menganalisis dan menjawab tantangan tersebut.

Persoalan yang dihadapi saat ini tidak mudah, apalagi memasuki abad kedua. Perlu adanya strategi yang sesuai dalam menghadapi perkembangan zaman yang dinamis. Tantangan saat ini menurut Prof. Amin Abdullah yaitu Muhammadiyah berada di tengah-tengah arus putaran globalisasi dalam praksis, dan bukan globalisasi dalam teori.

Maksudnya adalah arus globalisasi dan perubahan sosial yang dinamis, baik dalam sektor komunikasi, transportasi, ekonomi, ilmu pengetahuan, teknologi, budaya. Sehingga perlu adanya langkah dan strategi agar Muhammadiyah tetap melakukan transformasi Islam yang berkemajuan.

Memasuki abad kedua, Muhammadiyah mendeklarasikan diri-nya menjadi “gerakan pencerahan” (al-harakah at-tanwiriyah) berangkat dari Islam berkemajuan sebagai spirit dan etos yang menjadi ideologi peradaban. Dalam hal ini, Azaki Khoirudin menjelaskan dalam bukunya mengenai etos dan spirit Muhammadiyah. Beliau menjelaskan bahwa selain al-Ma’un sebagai etos dan langkah mengembangkan umat, teologi al-‘Ashr juga bisa digunakan untuk menjawab tantangan pusaran arus globalisasi yang kian cepat dalam memengaruhi peradaban.

Etos dan Ajaran KH. Ahmad Dahlan yang Terlupakan

Ketika awal berdirinya Muhammmadiyah, Kiai Dahlan memiliki misi dakwah untuk memperbaiki tingkah laku masyarakat yang pada saat itu masih jauh dari syariat Islam. Berawal dari hal tersebut, Kiai Dahlan mengawali dakwahnya dengan pengajian kecil-kecilan.

Pada saat itu, salah satu ilmu yang diajarkan Kiai Dahlan kepada murid-muridnya yaitu memahami makna dari surat al-Ma’un. Pengajian tersebut dilakukannya selama tiga bulan sampai murid-muridnya paham makna yang terkandung di dalamnya.

Ternyata, selain mengajarakan tentang surat al-Ma’un, jauh sebelum itu Kiai Dahlan mengajarkan kepada murid-muridnya tentang makna surat al-‘Ashr. Hal ini dijelaskan di dalam buku Teologi al-‘Ashr karya Azaki Khoirudin. Beliau memaparkan bahwasannya ada yang luput dari sebagian kita mengenai etos dan spirit dakwah Kiai Dahlan, yaitu kajian tentang surat al-‘Ashr. (Azaki:2015).

Menurut KRH. Hadjid (murid Kiai Dahlan), bahwasannya Kiai Dahlan mengajarakan dan mengulang-ulang surat al-‘Ashr ini kepada muridnya selama 7 bulan (Azaki: 2015). Jika dicermati, al-‘Ashr surat yang pendek, terdiri dari tiga ayat. Dalam tafsir Juz ‘Amma karangan Syekh Muhammad Abduh ada 37 surat, akan tetapi yang dipilih oleh Kiai Dahlan hanya satu surat, yaitu surat al-‘Ashr.

Kiai Dahlan Mengajarkan surat al-Ma’un kepada murid-muridnya selama tiga bulan, kemudian melahirkan tindakan sosial praksis, dan al-‘Ashr diajarkan lebih dari tujuh bulan menghasilkan peradaban Muhammadiyah hingga melintasi seabad. Sebenarnya sedalam apa makna dari surat al-‘Ashr?

Teologi al-‘Ashr: Upaya Transformasi Peradaban

Teologi biasanya diidentikkan dengan diskursus ketuhanan. Kata teologi berasal dari bahasa Yunani kuno theos (tuhan, dewa) dan logos (wacana). Dengan menimjam istilah Prof. Amin Abdullah teologi dikatakan sebagai pandangan dunia, bahkan kosmologi. Pandangan dunia yang dimaksud adalah pandangan hidup yang yang dibentuk oleh pemahaman dan penafsiran orang, kelompok, mazhab pemikiran organisasi keagamaan terhadap seperangkat system of belief yang dimiliki oleh agama.

Jika dikaitkan dengan masa kontemporer, teologi berfungsi untuk menjawab konteks sosial. Sifatnya teoritis yang menyajikan langsung langkah praktis perwujudan dari nash dalam mengahadapi persoalan yang dihadapi. Sehingga teologi bisa dijadikan spirit atau etos.

Al-‘Ashr merupakan surat yang penedek namun memiliki makna yang mendalam, di dalamnya terdapat hakikat kehidupan manusia sebagaimana dikehendaki Islam. Al-‘Ashr membicarakan tentang masa atau waktu yang di mana dalam hal ini menyentuh soal peradaban. Kemudian dilanjutkan dengan keadaan manusia yang rusak (moral), dikecualikan kepada orang-orang yang senantiasa berama shaleh. Senantiasa saling memberikan nasihat sesama manusia yang berjalan sesuai dengan kebenaran.

Dari surat al-Ashr, dapat diperoleh empat pilar untuk membangun peradaban yang berkemajuan. Pilar pertama, iman (paradigma tauhid) sebagai sebuah pilar yang mendasar, esensinya adalah menghadirkan Allah Swt dalam kehidupan sehari-hari yang dapat dipahami dari penggalan ayat amanu.

Tauhid merupakan intisari peradaban Islam. Esensi peradaban Islam adalah pengetahuan, sehingga tauhid memberikan identitas peradaban Islam yang mengikat semua unsur, menyatu secara integral dan organis yang disebut dengan peradaban.

Pilar kedua, ilmu pengetahuan, teknologi, dan ipteks yang dipahami dari penggalan ayat wa tawashau bil haq. Bukankan ilmu itu mempertanyakan kebenaran? Kata al-Haq dipahami sebagai simbol dari ilmu. Kebenaran terbagi menjadi dua, yaitu kebenaran mutlak dan relatif. Kebenaran relatif inilah yang dimaksud sebagai ilmu pengetahuan teknologi dan sains. Kebudayaan atau peradaban maju senantiasa berkaitan dengan ipteks yang maju.

Pilar ketiga, kerja keras, produktif, mendapat pengakuan baik dari manusia maupun ridha Allah yang dipahami dari penggalan ayat amilush saliha (amal shalih). Sebagai bentuk kerja peradaban yang melahirkan kreativitas masyarakat yang membentuk sebuah kebudayaan. Peradaban menciptakan kebudayaan, dan kebudayaan menciptakan perangai manusia, sebaliknya manusia menciptakan kebudayaan dan kebudayaan akan membentuk peradaban.

Pilar keempat, adalah moralitas yang dapat dipahami dari penggalan ayat wa tawasha bi al-shabr. Kesabaran adalah simbol dari moral, sehingga peradaban utama harus dibangun atas moralitas utama. Agar tidak terjadinya khusr (kerusakan) di tengah peradaban masyarakat maka diperlukan keberagaman intersubjektif yaitu corak spritualitas yang mau membuka diri, bersedia berbagi dengan berbagai tradisi spiritualitas keberagaman lain. Sehingga bisa menjadi penopang global ethich (etika global) seperti budaya solidaritas, saling menghormati, toleransi, yang memiliki asas kemanusiaan.

Dari pembelajaran teologi al-‘Ashr ini, dapat kita ambil empat pilar untuk membangun peradaban utama, yaitu paradigma tauhid, pengembangan ipteks, kreatifitas masyarakat, dan penguatan moral (etika, akhlak). Muhammadiyah dengan gerakan pencerahannya, semoga tetap konsisten membangun tansformasi peradaban Islam yang berkemajuan.

Penyunting: -RPK