Oleh : Mustofa Dahlan
NU-Muhammadiyah merupakan organisasi Islam tebesar di Indonesia. Nu dikenal dengan basis Massanya dan Muhammadiyah dikenal dengan Amal Usahanya, Kedua-duanya merupakan komponen penting bangsa ini dalam meraih kemedekaan, mengisi kemedekaan dan mempejuangkan bebagai macam hak-hak Masyarakat. NU dan Muhammadiyah sebaga Organisasi Islam memiliki perbedaan dalam memandang bebeapa hal. Sebut saja sepeti garis pejuangan, basis masa sampai rumusan-rumusan fiqih. Kendati demikian, Menurut KH Hasyim Muzadi, NU-Muhammadiyah sepeti sepasang kaki yang bisa melangkah besama-sama.
Akar Pebedaan Rumusan Fiqih
Bebicara mengenai khilafiyyah atau pebedaan Fiqih, bisa kita bahas secara singkat mengenai poin-poin pebedaanya. Dalam Kitab Himpunan Putusan Tarjih disebutkan bahwasanya Rumusan Fiqih Muhammadiyah berangkat dari Al-Quran dan As-Sunnah, sedangkan bebagai macam rumusan fiqih lainnya semacam pendapat imam madzhab, Ijmaβ, Qiyyas dan bebragai macam instrumen fiqih lainnya, dijadikan sebagai bahan referensi dalam menentukan sebuah hukum. Di Muhammadiyah, kita mengenal Majlis Tarjih sebagai Majlis yang memutuskan hukum.
Di NU, Menurut Nur Chozin Agham, NU memiliki 7 protokol dalam mengambil hukum, Yaitu Al-Quran, Sunnah, Ijmaβ, Qiyyas, Pendapatt Imam Madzhab (Syafiβi) dll. Didalam NU, kita mengenal LBM (Lembaga Bahtsul Masail) sebagai Lembaga/Majlis yang memutuskan sebuah hukum bagi Warga Nahdliyyin.
Selain itu, pebedaan NU-Muhammadiyah juga bukan hanya di rumusan pengambilan hukum semata, melainkan juga pada karakter masing-masing organisasi. Mumahmmmadiyah dikenal sebagai organisasi Modenis-Reformis (Haedar Nasir, 2010) yang begeak pada ranah sosial dan pendidikan. Sedangkan NU meupakan organisasi Tradisionalis yang menggunakan ppendekatan kultural dalam dakwahnya. Sehhingga bukan hal yang asing lagi, apabila NU di 1 daerah dengan daerah lain bebeda budayanya, karena memang basisnya adalah budaya. Akulturasi budaya ini tejadi pula di tanah jawa, sehingga tak heran apabila warga Nahdliyyin melestarikan bebagai macam budaya semacam mitoni, 1000 hari orang meninggal dan bebragai kebudayaan-kebudayaan lainnya.
Jangan Reaktif Menilai Pebedaan
Bebagai macam Khilafiyyah Nu-Muhammadiyah muncul di Masyarakat, seperti Penggunaan Qunut saat shalat Subuh, Rekaat Shalat Tarawih 11 dan 23 rekaat, Problematika rokok dan lainnya. Mari kita bahas lebih lanjut mengena poin-poin pebedaan itu tadi.
Nu Menggunakan Qunut dalam shalat subuhnya, sedangkan Muhammadiyah tidak. Hal ini karena NU Menggunakan dalil bahwasannya Rasulullah pun juga Qunut, terutama ketika menjelang peristiwa-peristiwa besar, sepeti perang Badar. Namun, Apakah Muhammadiyah salah karena tidakk ber-Qunut?. Nyatanya tidak juga, Muhammadiyah tidak menggunaan Qunut karena Rasulullah tidak menggunakan Qunut dalam Shalat subuh sehari-hari.
Dan selanjutnya mengenai rokok. Muhammadiyah agak ketat mengenai rokok. Putusan tarjih 2010 silam mengharamkan konsumsi rokok bagi warga Pesyarikatan, dan Fatwa haram ini juga dilayangkan terhadap rokok elektrik atau vape yang diputuskan pada 2020 lalu. Kemudian, bagamana dengan NU. NU menganggap Rokok tidak haram sepeti halnya Muhammadiyah.
NU-Muhammadiyah Tetap Mesra Di Tengahh Pebedaan
KH Hasyim Muzadi mengatakan βNU-Muhammadiyah seperti sepasang kakiβ, kalau saya pribadi, bependapat bahwa βNU-Muhammadiyah sedang bebulan madu dan akan terus bebulan maduβ. Bagaimana tidak, lah wong keduanya saja selalu akrab barengan ketika tejdi bencana, kok!. Ditambah lagi, LazisNU dan LazisMu juga asyik besamaan dalam menggalang dana bagi bebagai macam bencana dan kondisi kritis.
Kalau kita lihat lebih jauh, Kemesraan Nu-Muhammadiyah ini juga tejadi di bebagai daerah di Indonesia. Di Sragen misalnya, Idul Fitri 2019 silam kompak menyelenggarakan halal bi halal antara PDM Sragen dengan NU Sragen. Di akar rumut (cabang dan ranting) pun juga demikian, meskipun terdapat beberapa gesekan, namun ada kolaborasi diantaranya keduanya, NU yang menuntun masyarakat untuk Sholat, Muhammadiyah yang memfasilitasi dalam hal besosial, kurang mesra gimana hayo!.
Pada intinya, Perbedaan atau khilafiyyah NU-Muhammadiyah ini bukan suatu hal yang harus dipetentangkan, tetapi sesuatu hal yang harus disyyukuri. Pebedaan itu indah, pecayalah!. Untuk menikmati indahnya pebedaan ini langkahnya hanya dengan jangan telalu cepat menilai dan pahami akar pebedaannya. Dengan demikian, pebedaan itu indah. Kopi yang pahit saja bisa nikmat ketika betemu dengan gula di secangkir gelas dengan air panas, apalagi ditambah bumbu sang surya yang besinar, lebih mantab lagi!.