Refleksi Gagasan Buya Syafi’i

Oleh: Bagas Nugroho (Kader IMM FAI UAD 2020)

Belum lama ini kita menyaksikan Muktamar Muhammadiyah dan Aisyiyah pada tanggal 18-20 November 2022. Surakarta sebagai tuan rumah, dikunjungi oleh warga Muhammadiyah di seluruh penjuru Indonesia bahkan luar negeri, banyaknya peserta yang menghadiri, menunjukkan bahwa terdapat pemikir-pemikir besar Muhammadiyah. Sehingga, organisasi yang berusia 1 abad lebih ini masih bertahan dan semakin berkembang, gagasan yang mereka suarakan berbagai macam, ada yang konservatif, moderat, bahkan progresif. Penulis terkesan pada salah satu pemikir besar Muhammadiyah, yaitu Ahmad Syafi’i Ma’arif.

 

Mengenal Buya Syafi’i Ma’arif

Ahmad Syafi’i Ma’arif atau yang dikenal dengan Buya Syafi’i lahir pada 31 Mei 1935 sumpur kudus, sijunjung, Sumatra Barat. Pendidikan dasar di peroleh di sekolah Rakyat (SR) Sumpur Kudus hingga tahun 1947. Setelah lulus, beliau melanjutkan jenjang pendidikannya di Madrasah Mu’allimin di Balai Tengah, Lintau dan selesai pada tahun 1953. Setelah lulus dari Muallimin Lintau, beliau melanjutkan jenjang menengahnya di sekolah yang sama. Namun, tidak sampai selesai, dan beliau melanjutkan di Muallimin Yogyakarta tamat pada tahun1956.

Setelah lulus sekolah menengah beliau melanjutkan jenjang S1 di Universitas Cokroaminoto. Namun. pada jenjang perkuliahan beliau putus nyambung karena beberapa faktor, hingga pada akhirnya beliau mendapat gelar Sarjana (Drs) di FKIS IKIP Yogyakarta pada Agustus 1968. Skripsi yang beliau tulis berjudul “Gerakan Komunis di Vietnam (1930-1954)”, di bawah bimbingan Dharmono Hardjowidjono, dosen sejarah Asia Tenggara.

Dalam pengembangan akademiknya, Buya melanjutkan kuliah di Amerika, ia belajar sejarah di Nothern Illinois University (1973) dan Ohio State University (1980). Hingga, beliau mendapat gelar MA dengan tesis “Islamic Politics Under Guided Democracy in Indonesia”. Puncak akademik beliau saat diterima melanjutkan Ph.D (Doctor of Philosophy) di Universitas Chicago hingga lulus dengan disertasi “Islam as the Basic of State; A Study of the Islamic Political Ideal as Reflected in the Cinstituent Assembly Debates in Indonesia”

Saat menempuh pendidikan di Chicago, Buya mengenal Fadzlur Rahman sebagai guru yang membuka pikiran Buya. Buya Syafi’i yang dulunya sangat pro dengan gagasan negara Islam dan menjadikan Masyumi dan Maududi sebagai rujukan primer. Namun, setelah bertemu dengan Fadzlur Rahman pikiran Buya semakin terbuka dan progresif.

 

Paham Bernegara Menururt Buya Syafi’i

Menurut pandangan Ahmad Syafi’i Ma’arif, al-Qur’an tidak pernah menjelaskan suatu bentuk pemerintahan, dan memang tidak perlu untuk itu, tetapi al-Qur’an lebih menekankan dengan prinsip syuro. Maksud dari syuro di sini yaitu menetapkan kedudukan manusia setara di mata hukum dan Tuhan.

Masih banyak diantara pemikir Islam yang masih menginginkan negara Islam. Jika yang di maksud negara Islam adalah yang menerapkan syari’at seperti yang dikatakan imam 4 madzhab, menurut Buya Syafi’i itu hanyalah pendapat imam madzhab yang diterapkan sebelum kekaisaran Baghdad runtuh yang di mana pada masa itu pendapat tersebut mungkin masih relevan. Apakah pada masa abad ke-20 pendapat tersebut masih relevan? (Ijtihad yang baik adalah ijtihad yang relevan dengan ruang dan waktu).

Hal yang lebih parah terdapat golongan dengan dalil ما لم يحكم بما أنزل الله فألائك هم الكافرون mengkafirkan pemerintahan yang tidak menerapkan syariat. Penulis sendiri sepakat dengan pendapat Ahmad Syafi’i dalam bentuk pemerintahan tidak harus khilafah, kerajaan, dll. Bagaimana pun bentuk pemerintahannya jika menggunakan prinsip Syuro dalam al-Qur’an wahuwa ahsan.

 

Tauhid Sosial

Buya memang selalu berpikir beda dengan ulama kebanyakan, ketika membicarakan tauhid, Buya tidak hanya berbicara mengenai rububiyah, uluhiyah, ataupun asma wa sifat. Buya mengkaitkannya dengan kehidupan sosual. Menurut Buya, dalam sebuah artikel berjudul” Keadilan itu pokok utama dari tauhid” pokok utama tauhid di muka bumi ini yang pertama adalah keadilan dan yang kedua adalah egalitarianisme.

Dari perkataan di atas, beliau seakan mengatakan kepada kita, belajar tauhid itu tidak cukup berhenti di mengesakan Tuhan tok, harus lebih dari itu. Islam belum tentu bertauhid, banyak diantara seorang yang mengaku muslim tapi tidak menunjukkan ketauhidannya dengan membiarkan kedzoliman merajalela (terlebih kedzoliman penguasa).

RKUHP merupakan salah satu bentuk ‘tidak egalitarian’ penguasa, bagaimana bisa hukuman seorang koruptor diberi pengurangan, padahal itu benalu terbesar di negeri ini. Dari pernyataan Buya mengenai tauhid, jika kita tidak resah bahkan bersikap bodo amat dengan hal ini, perlu ditanyakan ketauhidan seorang. Manusia itu sama di mata hukum dan Tuhan.

Bentuk egalitarianisme Buya, beliau tidak pernah memandang sebelah mata terhadap agama selain Islam. Ditunjukkan ketika meninggalnya Buya banyak dari kalangan Hindustan maupun Budha yang datang kerumah Buya.

 

Islam agama sempurna

Dalam surat (al-maidah ayat 3) (اليوم أكملت لكم دينكم و أتمنى عليكم نعمتي و رضيت لكم الإسلام دينا)

Ayat diatas bahwasannya agama Islam adalah agama yang diridhoi dan sempurna. Dalam buku Islam dan Politik, Buya mengkritisi para pemeluk agama kaffah ini, dimata Buya agama kaffah ini dikaitkan dengan  masalah yang tidak substansial seperti pakaian, jenggot dan aspek ritual yang bahkan berlebihan.

Buya khawatir jika pembahasan umat islam hanya berputar di jenggot, cingkrang, ucapan Natal boleh atau tidak? yang mana ini merupakan pembahasan lama yang selalu diperdebatkan setiap tahunnya, mengkerdilkan agama yang kaffah ini. Orang tidak lagi memandang kebodohan, kemiskinan, kesenjangan sosial, merupakan problem terbesar umat.

Penulis khawatir kecenderungan superfisial ini awal dari sikap ‘Asobiyah terhadap golongan, yang membuat seseorang sulit menerima pendapat yang bukan dari golongannya, bahkan jika golongannya melakukan kesalahan dicarikan pembelaan. Jika ini terjadi dakwah kita sebenarnya untuk Islam atau golongan yang kita bela? Cobalah untuk membuka pikiran, karena pendapat yang kita ambil belum tentu benar dan pendapat yang kita tolak belum tentu salah, pendapat yang baik adalah sesuai dengan ruang dan waktu.

Islam itu ilmu dan sumber ilmu, tinggal bagaimana kita sebagai pemeluknya, berfikir untuk menemukan gagasan-gagasan baru, dan berani beda dari pendapat sebelumnya.

 

Penyunting: Irvan Chaniago