Meneladani Sosok Profesor Perempuan Pertama Indonesia: Siti Baroroh Baried

muhammadiyah.or.id

Oleh: Zahrotul Mukaromah (Sekertaris Umum IMM FAI UAD 2022/2023)

Jauh sebelum Indonesia merdeka telah lahir seorang putri dari pasangan bapak H. Tamim bin Dja’far dan ibu Asmah Tamim pada 23 Mei 1923 di Kauman, Yogyakarta yang diberi nama Siti Baroroh Tamimi. Jika dilihat dari garis keturunan, beliau masih bagian dari saudara dari Siti Walidah dari ayahnya. Ayahnya merupakan kemenakan dari Siti Walidah.

Siti Baroroh sudah sedari kecil dididik di lingkungan keluarga yang kental dengan Islam, dengan gaya pendidikan yang seperti itu membuat jati diri Siti Baroroh terbangun menjadi seorang muslimah yang taat dan juga konsisten terhadap apa yang beliau tekuni. Dalam majalah Suara A’isyiyah  No. 7 Tahun 1999, Uswatun Chasanah menulis bahwa dikalangan akademisi Siti Baroroh dikenal sebagai pribadi yang baik dan tekun di bidang akademik.

Dalam kehidupan sehari-harinya beliau juga dikenal sebagai sosok perempuan Islam-Jawa yang memiliki penampilan sederhana, rajin dan sangat hormat kepada kedua orang tuanya. Walaupun beliau dikenal sebagai perempuan yang cerdas dan memiliki pendangan yang maju, Siti Baroroh tetap rendah hati dan tidak melepaskan diri dari jati dirinya sebagai seorang muslimah berkemajuan.

Hingga akhirnya beliau menikah dengan seorang dokter spesialis di RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta, Dr. Baried Ishom. Keduanya mempunyai selisih umur yang lumayan jauh, Dr. Baried Ishom memiliki umur 8 tahun lebih muda dari Siti Baroroh.

Walaupun suaminya lebih muda dari Siti Baroroh, hal tersebut tidak sedikitpun mengurangi rasa hormat ataupun kepatuhan beliau kepada suaminya. Walaupun Siti Baroroh mempunyai banyak prestasi, namun beliau tetap menjalankan kewajiban dan tugasnya sebagai seorang istri dengan baik.

Dalam sebuah artikel disebutkan bahwa hubungan antara laki-laki dan perempuan bukan hanya sekedar dilihat secara struktural saja akan tetapi dapat dilihat juga secara fungsional. Walaupun demikian, Siti Baroroh tidak menyetujui emansipasi berlebihan yang pada akhirnya bertentangan dengan norma agama dan budaya.

Hubungannya dengan hal tersebut, beliau menyebutkan bahwa perempuan mempunyai 3 dunia. Yaitu dunia keluarga, dunia karir dan dunia masyarakat.

Siti Baroroh sudah sejak kecil mempunyai prinsip “hidup saya harus menuntut ilmu”, prinsip atau semboyan ini beliau sampaikan langsung dengan kedua orang tuanya. Prinsip ini benar-benar beliau terapkan dalam hidupnya, beliau tidak pernah bisa jauh dari dunia akademik, karena prinsip yang sudah beliau tanamkan sejak dini itu akhirnya mampu beliau bisa menjadi seorang Guru Besar perempuan pertama di Indonesia.

Siti Baroroh memulai pendidikan tingkat dasar di SD Muhammadiyah kemudian beliau melanjutkan di MULO HIK Muhammadiyah secara berturut-turut. Tidak sampai disitu saja, beliau melanjutkan pendidikannya di Fakultas Sastra UGM (Sarjana Muda), Fakultas Sastra UI di Jakarta sampai belajar untuk mendalami Bahasa Arab di Kairo, Mesir pada tahun 1953-1955.

Pada tanggal 7 Oktober 1964 Siti Baroroh membuat dunia pendidikan nasional gempar, karena beliau diangkat menjadi Guru Besar Fakultas Sastra Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta. Pengangkatan ini dianggap sangat istimewa, mengapa demikian? Karena dengan adanya pengangkatan ini beliau telah mencetak sebuah sejarah baru sebagai guru besar perempuan pertama dengan usia yang  masih muda yaitu 39 tahun.

Siti Baroroh merupakan profesor perempuan pertama di Indonesia, dan beliau tidak hanya dikenal sebagai sosok aktivis perempuan saja, beliau juga merupakan seorang pakar bahasa. Beliau menjabat sebagai Dekan Fakultas Sastra UGM selama dua periode yaitu pada tahun 1965-1968 dan 1968-1971, kemudian pada tahun 1963-1975 beliau juga menjabat sebagai Ketua Jurusan Asia Barat Fakultas Sastra UGM.

Tidak hanya itu saja, beliau juga ikut mengelola penerbitan Majalah Suara ‘Aisyiyah. Siti Baroroh Baried memiliki banyak karya yang berkaitan dengan pembelajaran mengenai filologi, ilmu tentang bahasa, kebudayaan, pranata dan juga sejarah atau dapat juga disebut dengan Bahasa Arab dan Perkembangan Bahasa Indonesia (1970), Bahasa Indonesia sebagai Infrastruktur Pembangunan (1980), Pengantar Teori Filologi (1985), Kedatangan Islam dan Penyebarannya di Indonesia (1989) dan masih banyak lagi karya-karya lainnya.

Dari penjelasan diatas dapat kita ketahui bersama bahwa Siti Baroroh ingin membuktikan bahwa perempuan juga mempunyai kesempatan yang sama untuk menuntut ilmu di manapun. Dengan adanya kisah Siti Baroroh ini dapat mematahkan pemikiran-pemikiran orangtua yang dibilang masih sangat tradisional.

Banyak juga kita temui di zaman modern sekarang ini orangtua yang melarang anak perempuannya untuk sekolah yang tinggi. Padahal, sebagai perempuan justru kita juga harus berpendidikan karena perempuan merupakan sekolah pertama bagi anak-anaknya kelak.

Kiprahnya dalam organisasi sudah tidak diragukan lagi. Siti Baroroh Baried merupakan perempuan pertama yang ada dalam jajaran PP Muhammadiyah, yaitu pada masa kepemimpinan KH. Yunus Anis tahun 1956-1962.

Beliau juga menjadi Ketua Umum Pimpinan Pusat ‘Aisyiyah dalam kurun waktu yang lumayan lama, yaitu selama 5 periode (1965-1985). Sebelum itu beliau juga menjabat sebagai PCA Gondomanan. Siti Baroroh  juga aktif di MUI Pusat dan Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI).

Selain menjabat sebagai ketua, berikut beberapa jabatan beliau saat di ‘Aisyiyah: Ketua Biro Hubungan Luar Negeri, Ketua Biro Penelitian dan Pengembangan dan Ketua Bagian Paramedis. Karena kiprah dan jasa-jasa beliau, saat ini ‘Aisyiyah memiliki posisi tawar di Luar Negeri. Melalui jasanya juga kini banyak peneliti maupun penulis disertasi dari Universitas yang ada di Luar Negeri untuk mempelajari organisasi ‘Aisyiyah.

Sebelum Siti Baroroh menjadi Guru Besar, beliau menikah dengan Dr. Baried Ishom. Saat itu beliau juga menjadi Spesialis Bedah dan menjabat sebagai Direktur RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta. Akhirnya beliau dikaruniai 2 anak, yaitu satu orang putra dan satu orang putri. Beliau masih menjabat sebagai Pimpinan Umum Majalah SA dan Penasihat PP ‘Aisyiyah sampai akhir hayatnya. Beliau wafat pada hari Ahad, 09 Mei 1999 dan disholatkan di Masjid Kauman.

Terdapat beberapa poin yang dapat kita teladani dari sepenggal kisah inspiratif Siti Baroroh Baried di atas, diantaranya: bahwa hidup itu harus memiliki prinsip, berjuanglah secara totalitas jangan setengah-setengah, menjadi perempuan yang berpendidikan, berkarir dan berpengaruh, serta mampu menjalankan perannya sebagai istri dan ibu dengan baik.

Dari kisah ibunda Siti Baroroh ini kita belajar bahwa sebagai perempuan kita juga memiliki hak dan peluang yang sama dengan laki-laki baik dalam hal pendidikan, karir maupun organisasi. Kisah ini mampu mematahkan beberapa stigma masyarakat yang memiliki pandangan “mengapa perempuan harus mempunyai pendidikan yang tinggi kalau ujung-ujungnya juga tetap di rumah”.

Perlu kita ketahui bersama bahwa menjadi seorang ibu itu bukanlah tugas yang mudah ya, inget ibu adalah sekolah pertama bagi anaknya. Lalu bagaimana seorang perempuan bisa menjadi sekolah yang baik jika dirinya saja tidak memiliki ilmu yang cukup?

Jadi sebagai perempuan kita juga memiliki peluang yang sama dengan laki-laki dalam hal pendidikan. Ibu Siti Baroroh Baried merupakan seorang perempuan yang memiliki pendidikan yang tinggi, seorang aktivis perempuan, beliau juga merupakan seorang ibu rumah tangga. Dan beliau tetap bisa menjalankan ketiga perannya itu dengan baik.

Hidup adalah pilihan, dan setiap dari kita memiliki pilihan untuk bagaimana memilih langkah untuk ke depannya. Dan setiap dari kita juga yang akan bertanggungjawab atas apa yang sudah kita pilih. Setiap dari kita juga pasti bisa menjadi sosok yang kita impikan. Setiap dari kita memiliki peluang dan kesempatan yang sama untuk melihat masa depan.

 

Penyunting: Irvan Chaniago