Oleh : IMMawan Haedar (PK IMM FSBK)
Akhir akhir ini begitu banyak peristiwa yang terjadi dinegara kita ini. Mulai dari ari bencana yang tak kunjung habis, banyaknya tokoh-tokoh terkemuka dipanggil sang ilahi lalu berita-berita politik dan ekonomi dikancah nasional yang selalu memanas dengan dalih pebaikan negara. Hal-hak yang demikian tersebut selalu menjadi makanan kesehari harian rakyat Indonesia.
Dari sekian banyaknya peristiwa yang di negera ini, saya sebagai kader IMM sangat heran dengan pergerakan IMM dari pusat hingga tingkat komisariat. Karena seakan akan bungkam seribu bahasa atas banyaknya peristiwa yang terjadi akhir-akhir ini.
Padahal jika dilihat dari banyak nya peristiwa yang ada tidak semuanya harus dikatakan musibah yang tiba tiba terjadi karena Tuhan murka, tapi pasti ada sebab muasal dari manusia itu yang menyebabkan bencana sebagaimana hari ini.
Mempertanyakan keberpihakan IMM
Sebut saja tentang peristiwa banjir di Kalimantan selatan yang melanda 11 dari 13 kabupaten/kota, dengan ketinggian air hingga lebih dari 1 meter. Walaupun pemerintah dan presiden mengeklaim bahwa itu disebabkan curah hujan yang tinggi, hal itu memang terdengar benar Karena menurut BMKG intensitas curah hujan pada tanggal 10 β 15 Januari adalah yang tertinggi dalam catatan sejarah karena dipicu dengan fenomena La Nina yang memicu pergerakan suplai uap air dari pasifik timur ke pasifik barat dan meningkatkan awan hujan di wilayah Indonesia di bagian tengah, termasuk di kalsel (Kompas,Banjir Besar di Kalsel, potret suram kerusakan alam).
Terjadinya banjir tidak hanya disebabkan oleh curah hujan tinggi, sebagaimana yang dikatakan Guru Besar Manajemen Lingkunan Universitas Diponegoro Semarang Sudharto P Hadi bahwa tinggi nya air hujan menjadi salah satu penyebab banjir di Kalsel. Namun, aliran air yang terakumulasi menjadi banjir itu dipicu penurunan daya serap permukaan tanah. βPenurunan daya serap permukaan tanah disebabkan alih fungsi lahan hutan untukΒ perkebunan kelapa sawit dan pertambangan,β ujarnya.
Maka seharusnya dari peristiwa banjir Kalimantan selatan, IMM dalam setiap pimpinan dari pusat hingga tataran komisariat membuka ruang diskusi agar terciptanya kesadara kritis para kadernya dalam memahami pentingnya menjaga dan merawat kestabilan ekologi agar terciptanya keharmonisan antara manusia dan lingkunganya atau bisa juga dengan jaringan IMM yang begitu luasnya diseluruh Indonesia ini memberikan Mosi Tidak Percaya dan tuntutan agar pemerintah dan Presiden menyatakan kesanggupunya dalam perihal pencabutan izin aktifitas bisnis yang mengeksploitasi hutan Kalimantan sehingga terjadi banjir sebagaimana hari ini.
Keadaan IMM terkini
Tapi ya begitulah keadaan IMM hari ini seakan akan nalar kritisnya sudah mati karena matinya diskusi diskusi terutama pada tataran kampus muhammadiyah yang memiliki basis masa sebagai laboratium intelektual muhammadiyah dan kaderisasi, seyogyanya hal ini menjadi refleksi mendalam karena IMM sebagai oraganisasi pergerakan mahasiswa seharusnya menjadi agent of control pemerintah.
Atau bisa jadi apa yang dikatakan ayahanda Busyro Muqodas benar adanya yaitu tentang matinya nalar kritis IMM disebabkan karena Ketua Umum IMM yaitu Najih Prasetya menjadi komisiaris salah satu anak perusahaan BMUN maka dari itu nalarnya krtisnya terbungkam dan berdampak pada semua pimpinan IMM dari pusat hingga komisariat dalam melihat realitas yang terjadi akhir akhir ini dinegara tercinta republik Indonesia.
*Ilmu Amaliyah dan Amal Ilmiah*
IMM sebagai organisasi mahasiswa memiliki semboyan ikatan yaitu ilmu amaliyah dan amal ilmiah perlu benar benar diimplementasikan sebagai gerakan yang selalu digalakan bukan hanya menjadi pencitraan pada ruang ruang acara IMM atau kebanggan tanpa gerakan anak anak IMM pada umumnya.
Maka dari itu seharusnya dalam konteks ini IMM tidak berleha-leha hanya karena kampus ditiadaakan lalu diganti dengan kuliah online. Kampus memang berhenti tapi pergerakana mahasiswa tidak pernah berhenti.
IMM harus menjadi bagian dari cendekiaawan organik. Yaitu cendekiawan yang ilmunya untuk kepentingan umat manusia dalam menjawab realita sosial dan melakukan perubahan. Hal itu lah yang harus menjadi budaya IMM pada setiap level kepemimpinan.
Dengan begitu banyaknya fenomena bencana, kebijakan politik pemeritah, penanganan pandemi yang amburadul hingga ekonomi carut marut selayaknya harap selalu didiskusikan pada setiap level pimpinan agar wawasan nya terbuka sebagai bentuk peghidupan nalar kritis kader kadernya yang hari ini hanya menjadikan aktifitas rebahan sebagai aktifitas pokok disamping kuliah online.
Jika diskusi saja benar benar ditiadakan dengan cara apalagi IMM bisa melakukan penyadaran tentang keadaan Indonesia hari ini. Apakah kita tidak bercermin pada ayahanda ayahanda Muhammadiyah yang tetap kritis walaupun rambut nya sudah memutih dan badanya tidak lagi muda.
Perluya kita mengingat yang diucapakan Buya SyafiβI maarif: βApa hebatnya mereka meraka yang selalu berada pada bayang bayang pendahulunya”.
Apa kita sebagai kader Muhammadiyah akan terus terusan untuk membanggakan Transformasi dan pembaharuan yang dilakukan oleh KH Ahmad Dahlan dahlu kala dengan menceritakan kisah pengajaran Al Maun yang dilakukan berkali kali atau kita adalah kader yang hanya bisa bangga pada bangunan bangunan kokoh Amal Usaha Muhammadiyah yang menggurita itu ?.
Tentumya tidak ada yang salah ketika kita suka bercerita tentang KH Ahmad Dahlan dan bangga pada Amal Usaha Muhammadiyah tapi bukankah kita diajarkan tidak sekedar berempati ? bukankah Agama kita adalah agama yang membumi dengan cita cita profetisnya sebagai Umat terbaik ?.
KH Ahmad Dahlan pastinya akan lebih banggga jika banyak dahlan dahlan muda yang mengikuti jejaknya bukan hanya sekedar menceritakan kehebatanya dahulu kala yaitu menjadi pembangun peradaban, berpihak pada kaum mustadhafin dan dhuafa itulah sejatinya yang KH Ahmad Dahlan inginkan terhadap para kader muhammadiyah hari ini.
Mari begerak untuk ummat dengan semangat profetis hingga terwujudnya masyarakat islam yang sebenar benarnya. Empati tanpa Aksi Tak Berarti Percuma Teriak tapi gak Gerak. IMM JAYA !!!
Penyunting : Mustofa Dahlan