Kritikan Atas Tulisan NU dan Muhammadiyah

Oleh : IMMawan  Annas Budiarto

Dalam tulisan ini Tahlilan : Presfektif NU & Muhammadiyah – IMM KOMISARIAT FAKULTAS AGAMA ISLAM UAD dijelaskan tentang perbedaan pandangan antara kedua ormas terbesar di Indonesia yaitu NU dan Muhammdiyah dan permasalahan tahlilan yang sering di praktikan. Dalam artikel tersebut juga sudah memandang permasalahan dari sudut pandang yang berbeda, kemudian juga tulisan ini dimaksutkan agar tidak menjadi bahan perdebatan mana yang salah dan benar.

Namun, yang menjadi masalah adalah ketika data yang di gunakan tidak semuanya objektif, malah cenderung subjektif, Karena hanya menggunakan metode wawancara, hanya mewancarai satu dari masing-masing Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah, kemudian juga tanpa ada kajian lietratur terlebih dahulu, sehingga tulisan tersebut sangat ambigu kebenaranya.

Dalam agama Islam, perbedaan dalam pengambilan hukum syariat Agama (Fiqih) sangat biasa terjai, tidak heran kedua ormas tersebut juga pastinya memiliki multi perbedaan dalam hal kaidah fiqih, sehingga juga mempengaruhi pengamalan Agama dalam kehidupan sehari hari. Perbedaan pendapat sering terjadi bahkan dari zaman Rasulullah, di sebabkan karena adanya pemahaman yang berbeda walau dari sumber yang sama.

Hal ini juga berkaitan dengan Perbedaan dalam memandang hukum tahlilan, dimana perbedaan tersebut salah satu faktornya adalah pemahan bid’ah, permasalahan “kullu bid’ahtin” selalu menjadi perdebatan selama 1400 oleh ahli nahwu dan perbedaan ini berujung  memunculkan disparitas yang melahirkan aliran, manhaj serta mazhab bermacam macam dan terus berselisih hingga sekarang

Kembali keTopik awal dimana penulis akan melanjutkan kritikan tulisan Tahlilan : Presfektif  Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama. Terdapat beberpa poin lagi dari kekeliruan pandangan Nahdlatul Ulama, antara lain :

  1. “NU mempunyai 3 pedoman yaitu Al-Quran, Hadis, dan perkataan dari pada sahabat Nabi. Karena menurut sejarah ketika sahabat melakukan sesuatu tapi nabi tidak melarang hanya diam saja, berarti itu bisa dilakukan”

Mengenai poin ini, terdapat kekeliruan, yang pertama dalam pedoman pengambilan hukum. Di lansir dari NUonline, tulisan KH. Anuril Anwar, selaku ketua PP Lembaga Dakwah Nahdlatul Ulama (LDNU), nahdlatul ulama bersumber keapada empat pokok, yaitu Al Quran, Hadits/As sunnah, ijma’ dan Qiyas. Kemudian yang kedua, ketika sahabat melakukan sesuatu tapi nabi tidak melarang hanya diam saja itu merupakan sedikit pengertian hadits taqriri

  1. “Jikalau Muhammadiyah menggunakan hadis sahih, namun NU berbeda walaupun hadis itu dhoif akan tetap menjadi bahan pertimbangan, dengan catatan tidak tergolong hadis maudhu”

Dalam pemahaman ini harus di luruskan tentang pemahaman perbedaan antara hadits dhoif dan hadits maudhu yang benar.  Dalam kitab taisir musthalah al hadis  yang di tulis oleh Mahmud ath thahhan, hadits dhoif merupkan tingkatan hadits paling rendah setelah hadits sahih dan hasan, penyebab dhaifnya sebuah hadits adalah keterputusan sanadnya, atau kelemahan-kelemahan yang bersifat manusiawi dari para perawinya seperti lemahnya daya ingat, sering ragu ataupun tersalah dalam menyampaikan sesuatu. Sedangkan hadist maudhu adalah hadits yang tidak bersumber sama sekali dari Nabi Muhammad SAW. Syekh Khalil juga menjelaskan, di antara perbedaan hadits dhaif dan maudhu adalah “Hadits dhaif pada dasarnya tetap dinisbatkan kepada Nabi Muhammad SAW, berbeda dengan hadits maudhu yang merupakan kebohongan yang diada-adakan (atas nama Nabi SAW)”

Kemudian hadist dhaif yang dipakai dalam pengamalan kaidah fiqih di Nahdlatul Ulama adalah tentang keteapan ketapan, hal ini di dudukung dari perkataan Ibnu Hajar Al-Haitami dalam kitab Ad-Durrul Mandhud sebagaimana yang dikutip juga oleh Sayyid Muhammad bin Alwi bin Abbas Al-Maliki dalam karyanya Ma Dza fi Sya’ban menyebutkan bahwa “Para imam dari kalangan ahli hadits dan ahli fikih telah sepakat, sebagaimana yang disebutkan juga oleh Imam An-Nawawi dan lainnya, tentang kebolehan beramal dengan hadits dhaif dalam hal fadhail (keutamaan-keutamaan), anjuran kebaikan dan ancaman keburukan. Tidak dalam perkara yang berkaitan dengan hukum halal dan haram, selama tingkat kedhaifannya tidak terlalu parah.”

  1. NU menafsirkan ayat Al-Quran surat Al isra ayat 15 yang menjadi alasan kuat bahwa bacaan yang dilantunkan untuk orang yang meninggal itu akan sampai padanya

Penulis tidak menemukan literature tentang penjelasan bahwa Nahdlatul Ulama menggunakan ayat ini untuk dasar utama hukum Tahlilan. Dalam Tafsir Ibnu katsir juga tidak di jelaskan tentang doa yang sampai kepada orang yang sudah meninggal. Kemudian penulis menemukan dasar lain yang di lansir dari http://www.nu.or.id terdapat hadits yang di gunakan adalah Dari sahabat Ma’qal bin Yasar r.a. bahwa Rasulallah s.a.w. bersabda : surat Yasin adalah pokok dari al-Qur’an, tidak dibaca oleh seseorang yang mengharap ridha Allah kecuali diampuni dosa-dosanya. Bacakanlah surat Yasin kepada orang-orang yang meninggal dunia di antara kalian. (H.R. Abu Dawud, dll) Kemudian dalam hadits lain yang diriwayatkan Abi Sa’id al-Khudri RA, Rasulullah bersabda: “Tidaklah berkumpul suatu kaum sambil berdzikir kepada Allah SWT, kecuali mereka akan dikelilingi malaikat, dan Allah SWT akan memberikan rahmat-Nya kepada mereka, memberikan ketenangan hati dan memujinya di hadapan makhluk yang ada di sisi-Nya” (HR. Al-Muslim, 4868).

Hal ini juga diperkuat oleh beberapa pendapat para ulama, angtara lain adalah pendapat imam Nawawi dari madzhab Syaf”i , “Dan disunnahkan bagi peziarah kubur untuk mengucapkan salam kepada (penghuni) kubur, serta mendoakan mayit yang diziarahi dan semua penghuni kubur. Salam serta doa lebih diutamakan menggunakan apa yang sudah ditetapkan dalam hadis Nabi. Begitu pula, disunnahkan membaca apa yang mudah dari Al-Qur’an, dan berdoa untuk mereka setelahnya. (Lihat: Yahya bin Syaraf An-Nawawi, Al-Majmu’, juz 5, h. 311)”

Kemudian landasan lainya dari Hadratussyaikh Hasyim Asy”ari (Pendiri Nahdlatul Ulama), dalam kitab beliau yang berjudul Risalah Ahlusunnah Wal Jamaah yang berisi tentang landasan Nahdlatul Ulama, kesimpulan yang beliau ambil dari pendapat para ulama dalam kitab tersbut adalah “tahlilan untuk mayyit adalah tidah bidah”

  1. Tahlilan menurut NU merupakan Muamalah, namun tidak hanya Muamalah saja ada ibadah yang dilakukan seperti membaca Al-Quran, bersholawat untuk nabi, dan lain sebagainya.

Untuk pembahasan ini, penulis sepakat dengan point yang di samapaikan, karena dalam tahlilan memang banyak membackan ayat ayat Alquran, Bersholawat dan kalimat kalimat dzikir, yang dimana hal tersebut adalah perintah dari agama. Kemudian terkait muamalah memang benar adanya, hal tersebut bisa terjadi karena adanya hubungan sosial yang tercipta karena adnya tahlilan. Hal tersebut relevan dengan pengertian dan tujuan  muamalah dilansir dari repository.uin-suska.ac.id, pengertian muamalah dalam Islam adalah suatu kegiatan yang mengatur hal-hal yang berhubungan dengan tata cara hidup hidup sesama umat manusia untuk memenuhi keperluan hidup sehari-hari. Sedangkan, yang termasuk dalam kegiatan muamalah di antaranya ialah jual beli, sewa menyewa, utang piutang, dan lain sebagainya. Sederhananya, muamalah diartikan sebagai hubungan antar manusia dengan manusia untuk saling membantu agar tercipta masyarakat yang harmonis.

KESIMPULAN

Kajian pustaka bagi seorang penulis sangat penting dalam mencari tempat yang kokoh, sehingga acuan-acuan yang digunakan dalam penulisan sesuai dengan bidang yang akan dikaji. Kajian pustaka di samping membekali penulis dengan landasan yang diinginkan, juga mencerminkan kedalaman teori yang terlibat dalam penelitian. Sehingga kajian pustaka dalam kepenulisan dapat mecerminkan kadar keobjektifan tulisan. Entah seringan apapun pembahasan tetap haris di landasi dengan jelas, terlebih lagi mencantumkan nama lembaga raksasa yang berkecimpung dalam sector agama. Bagaimanapun juga, Kritikan merupakan sebuah pelajaran yang harus diambil untuk melangkah lebih baik kedepanya, Semoga tulisan ini dapat memberikan pengetahuan baru, khusunya kepada kawan kawan yang masih awam dalam memahami bagaimana warga nahdiyin mengambil hukum fiqihnya.

 

Pentyunting : Mustofa Dahlan