Oleh: Saiful Bahri (Kader IMM FAI 2021)
Biografi Imam Al-Ghazali
Al-Ghazali mempunyai nama lengkap Abu Hamid Muhammad Ibnu Muhammad ibnu Muhammad Al-Ghazali al-Thusi yang bergelar hujjatul Islam. Di dilahirkan di Thusi (sekarang dekat Meshed) salah satu daerah Khurasan (sekarang masuk wilayah Iran) tahun 450 H (1058 M).2 Di tempat ini pula dia wafat dan dikuburkan pada tahun 505 H./ 111 M,3 dalam usia yang relatif belum terlalu tua yaitu 55 tahun.
Ayah Imam Ghazali adalah seorang yang shalih dan seorang wira’i, tidak makan kecuali dari hasil pekerjaannya sendiri. Beliau bekerja sebagai pemintal benang wol dan menjualnya di tokonya di Thus. Dengan kehidupan yang sederhana itu ayahnya menekuni dunia sufi dan menjadi ahli tasawuf yang hebat di tempatnya. Ketika sakit keras, sebelum ajalnya tiba, ia berwasiat kepada sahabat dekatnya yang juga seorang ahli sufi bernama Ahmad bin Muhammad Al-Razakani agar dia bersedia mengasuh al-Ghazali dan saudaranya yang bernama Ahmad.
Kritik Imam Al-Ghazali Terhadap Filosof
Al-Ghazali kecil mula-mula belajar berbagai keilmuan di Thusi pada Syekh Ahmad bin Muhammad Al-Razakani (orang tua asuh al-Ghazali), kemudian ia berpinah ke Jurjan untuk menimba ilmu pada Imam Abi Nasar Al-Ismaili. Setelah mempelajari berbagai ilmu di Jurjan, maka ia berpindah ke Naishabur untuk menimba ilmu pada Imam Dhiya al-Din al-Juwaini (yang terkenal dengan sebutan Imam Al-Haramain) direktur Madrasah al-Nidzamiyah ketika itu. Dalam tempaan Imam al-Juwaini inilah al-Ghazali mendalami fiqih madzhab, ushul fiqih, manthiq, ilmu kalam, filsafat hingga ajal memisahkan keduanya.
Dalam fase awal-awal perkembangan intelektualnya, al-Ghazali banyak berkarya di bidang ilmu-ilmu syariat ketika masih di Baghdad. Namun, setelah itu dalam kurun dua tahun al-Ghazali memahami filsafat dengan seksama, hampir setahun ia terus merenungkannya, mengulang-ulang kajiannya, dan membiasakan diri dengannya, di samping meneliti kebohongan dan penyelewengan yang terkandung di dalamnya. Pada saat itulah al-Ghazali menyingkap pemalsuan dan tipuan-tipuan, serta membedakan unsur yang benar dan yang khayatan.
Dalam kitabnya Tahafut al-Falasifah (kerancuan pemikiran para filosof) ini al-Ghazali mengemukakan tentang pertentangan (kontradiksi) yang ada dalam ajaran filsafat, baik pada masa klasik maupun filsafat yang dikembangkan oleh filosof muslim seperti Ibnu Sina dan Al-Farabi, serta dijelaskannya juga ketidaksesuaiannya dengan akal. Dalam kitab ini Al-Ghazali menunjukkan beberapa kekeliruan dan kerancauan pemikiran para filosof Yunani terutama aristoteles dan para pengikut mereka, seperti filosof Muslim al-Farabi (m. 950) dan Ibnu Sina (m. 1037).
Dalam karyanya ini Dunya menilai bahwa al-Ghazali berhak mendapat predikat sebagai failasuf Islam, meskipun isinya banyak menyerang para filosof dan menghancurkan para filosof di mata umat Islam, namun cara-cara yang dipakai dalam mengkritik ini menggunakan cara-cara filsafat, setidaknya ada 20 masalah yang menyebabkan para filosof ini menjadi ahli ahl al-bid’ah dan kafir. Dari 20 persoalan ini, al-Ghazali menegaskan bahwa para filosof menjadi kafir karena tiga masalah, yaitu:
Pertama, Para filosof berbeda pendapa mengenai keazalian alam. Tetapi mayoritas filosof, yang dulu maupun yang kemudian, menyetujui pendapat bahwa alam ini azali, dan menyatakan bahwa alam ini selalu ada bersama alam serta terjadi bersamaan dengannya sebagai akibat keberadaannya secara temporal sebagaimana kebersamaan temporal sebab dan akibat seperti matahari dan sinarnya. Dan para juga filosof yang berpendapat bahwa alam itu qadim (tidak mempunyai permulaan), ini merupakan pendapat Aristoteles dan pengikutnya.
Para filosof muslim sebelum al-Ghazali mengatakan bahwa alam ini qadim. Sebab qadimnya Tuhan atas alam sama halnya dengan qadimnya illat atas ma’lulnya (ada sebab akibat), yakni dari zat dan tingkatan, juga dari segi zaman. Para filosof kala itu beralasan tidak mungkin wujud yang lebih dahulu, yaitu alam, keluar dari yang qadim (Tuhan), karena dengan demikian berarti kita bisa membayangkan bahwa yang qadim itu sudah ada, sedangkan alam belum ada.
Menurut al-Ghazali yang qadim (tidak mempunyai permulaan) hanyalah Tuhan semata. Maka, selain Tuhan haruslah baru (hadits). Karena apabila terdapat sesuatu yang qadim selain Tuhan, maka dapat memunculkan paham; apabila yang qadim banyak, berarti Tuhan banyak; pemikiran ini tentu menimbulkan kemusyrikan yang pelakunya dosa besar yang tidak dapat diampuni Tuhan; atau masuk golongan Ateisme yang menyatakan bahwa alam yang qadim tidak perlu adanya pencipta.
Kedua, pendapat filosof yang menyatakan bahwa Tuhan tidak mungkin mengetahui hal-hal yang bersifat partikular (pendapat yang dipegangi oleh Ibnu Sina). Mula-mula pendapat ini dipegangi oleh Aristoteles kemudian dianut oleh para filosof Muslim.
Menurut al-Ghazali para filosof Muslim itu mempunyai pemahaman bahwa Allah hanya mengetahui zat-Nya sendiri (juz’iyat) dengan alasan alam ini selalu terjadi perubahan-perubahan, jika Allah mengetahui rincian perubahan tersebut, hal itu akan membawa perubahan pada zat-Nya. Perubahan pada obyek ilmu akan membawa perubahan pada yang punya ilmu (bertambah atau berkurang). Ini mustahil terjadi pada Allah.
Al-Ghazali mengkritik seraya mengatakan bahwa para filosof itu telah melakukan kesalahan fatal. Menurutnya, sebuah perubahan pada obyek ilmu tidak membawa perubahan pada ilmu. Karena ilmu berubah tidak membawa perubahan pada zat, dalam artian keadaan orang yang mempunyai ilmu tidak berubah.
Kemudian al-Ghazali memberikan sebuah ilustrasi, sebagaimana halnya kalau ada orang berdiri di sebelah kanan kita, kemudian ia berpindah ke sebelah kiri kita, maka yang berubah sebenarnya dia, bukan kita. Ia mengetahui segala sesuatu dengan ilmu-Nya yang satu (Esa) semenjak azali dan tidak berubah meskipun alam yang diketahui-Nya itu mengalami perubahan.
Untuk memperkuat bangunan argumen dalam mengkritik para filosof Muslim, al-Ghazali mengemukakan dalil ayat-ayat al-Qur’an yang menunjukkan bahwa Allah mengetahui segala yang di bumi, baik itu kecil maupun besar.
قُلۡ اَتُعَلِّمُوۡنَ اللّٰهَ بِدِيۡـنِكُمۡ ؕ وَاللّٰهُ يَعۡلَمُ مَا فِى السَّمٰوٰتِ وَمَا فِى الۡاَرۡضِؕ وَاللّٰهُ بِكُلِّ شَىۡءٍ عَلِيۡمٌ
“Katakanlah (kepada mereka), “Apakah kamu akan memberitahukan kepada Allah tentang agamamu (keyakinanmu), padahal Allah mengetahui apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.”(Q.S Al-Hujurat.16)
Ketiga, penolakan filosof terhadap kebangkitan jasmani dan mortalitas jiwa individu. Para filosof Muslim sebelum al-Ghazali berpandangan bahwa yang akan dibangkitkan dari alam kubur menuju akhirat nanti adalah rohani semata, sedangkan jasmani akan hancur lebur. Menurut mereka, akan merasakan kebahagiaan atau siksaan adalah rohani semata. Al-Ghazali dalam mengkritik pendapat para filosof tersebut lebih banyak bersandar pada arti tekstual Al-Qur’an, yang menurutnya tidak ada alasan untuk menolak terjadinya kebahagiaan atau kesengsaraan (siksaan) fisik dan rohani secara bersamaan. Allah Maha Kuasa menciptakan segala sesuatu dan untuk itu tidaklah ada keraguan sedikitpun Allah akan mengembalikan rohani pada jasmanidi akhirat nanti.
Lebih lanjut al-Ghazali menegaskan bahwa kekalnya jiwa setelah mati tidak bertentangan dengan ajaran Islam. Bahkan terdapat beberapa hadis yang menyebutkan bahwa roh-roh manusia merasakan adanya kebaikan atau siksa kubur dan lain-lain. Semua itu sebagai indikasi adanya kekekalan jiwa. Sementara itu kebangkitan jasmani secara eksplisi telah ditegaskan syara’ (agama), dengan arti jiwa dikembalikan pada tubuh, baik tubuh semula maupun tubuh yang lain, atau tubuh yang baru dijadikan.
Referensi
Atabik, A. (2014). Telah Pemikiran al-Ghazali Tentang Filsafat. Fikrah,.
https://www.merdeka.com/quran/al-hujurat/ayat-16
Al-Ghazali, I. (2023). Tahafut Al-Falasifah: Kerancuan Para Filosof. Marja.