Oleh : IMMawan Rizal (Kabid Bidang Hikmah PK IMM FAI)
Dari Tsauban, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu βalaihi wa sallam bersabda, βNyaris saja bangsa-bangsa memperebutkan kalian (umat Islam) sebagaimana memperebutkan makanan di mangkuknya. Lalu seseorang berkata βApakah saat itu kita kaum minoritas ?β. Rasulullah menjawab, β(Tidak) bahkan kalian saat itu berjumlah sangat banyak, hanya saja kalian bagaikan buih yang terhempas (di lautan). Allah mengeluarkan dari hati musuh-musuh kalian rasa takut terhadap kalian, dan Allah melempar kelemahan di hati kalian.β Lalu orang yang bertanya tadi kembali bertanya, βwahai Rasulullah apakah kelemahan itu ?β beliau menjawab β(Rasa kelemahan itu karena) cenderung mencintai dunia dan membenci kematian. [HR Abu Daud no : 4297]
Hadis tersebut bagi penulis, tepat untuk menggambarkan situasi IMM hari ini yang diambang kebingungan, atau dalam bahasa kerennya hidup enggan mati tak mau.
Pasalnya, IMM hari ini khususnya di PTM (perguruan tinggi Muhammadiyah) masih tampak mengagung-agungkan jumlah pengikut. Tidak hanya itu, status gerakan mahasiswa IMM yang mendapat keistimewaan tersendiri di PTM membuat IMM semakin optimis untuk menetap di zona nyaman.
Berposisi unggul dalam kuantitas mengharuskan IMM untuk menjaga eksistensinya dilingkungan kampus, sebab merupakan satu hal yang tabu bila IMM dikesampingkan di rumahnya sendiri.
Salah satu upaya dalam menjaga eksistensi IMM adalah bertarung dalam pemilihan umum mahasiswa memperebutkan kursi presiden mahasiswa dan ketua DPM.
Sering kali para βpolitisiβ mengkampanyekan demi ortom (Organisasi otonom) dan Muhammadiyah pilihlah si Fulan, dengan tujuan mendulang suara dari internal ortom itu sendiri. Hal ini bagi penulis menunjukkan ketidakmampuan kader dalam menciptakan opini publik bahwa kader IMM mampu mengakomodir kepentingan mahasiswa secara keseluruhan.
Dalam politik kita memang mengakui adanya perhitungan suara dibalik layar untuk memenangkan pemilihan umum akibat kontrak politik, akan tetapi kita juga tidak boleh lupa dengan nilai sebagai daya tawar yang kongkret bagi seluruh mahasiswa sehingga kehadiran kader IMM tidak serta merta diperhitungkan secara kuantitas tapi juga kualitas.
Fenomena yang begitu menggelitik bagi penulis adalah, kader IMM amat sangat marah bila eksistensinya diganggu oleh gerakan lain, akan tetapi IMM sendiri ternyata sampai hari ini belum punya suatu gerakan nyata yang membawa dampak baik bagi mahasiswa dan masyarakat.
Tumpulnya gerakan akibat sentimen organisasi dan budaya eksklusif dengan sendirinya menyingkirkan IMM dalam ranah gerakan. Sebab suatu gerakan dibangun bukan hanya atas dasar ideologi tapi persatuan dan dialog (bukan konflik) antar satu sama lain. Nalar kritis dan budaya gerakan IMM betul-betul di uji dalam melihat tantangan, keberpihakan IMM sering kali dipertanyakan bahkan kehadirannya tak luput dari curiga, apakah ini mata-mata rektorat atau inteligen milik birokrat ?.
Kuantitas tanpa dibarengi oleh kualitas digambarkan oleh Nabi laksana buih di lautan, terombang-ambing tak tahu arah. Musuh yang awalnya segan berubah menjadi tak gentar sebab hilangnya rasa takut. Penyakit wahn (cinta dunia dan takut mati) menjadi faktor kekalahan IMM yang lebih mementingkan kuasa tapi buta aksara.
Ibn Taimiyah dalam bukunya siyasah syarβiyah menyebutkan tiga hal yang perlu dipertimbangkan dalam mengangkat seorang pemimpin, yakni ashlah (paling layak) quwwah (memiliki kemampuan) dan amanah (bertanggungjawab).
Artinya tiga kompetensi dasar tersebut harus betul-betul ditanamkan sejak dini sehingga kader IMM paham bahwa kuasa tanpa dibarengi dengan melek aksara sama dengan sengsara.
Idealisme Kepemimpinan di IMM
Kepemimpinan dalam IMM seharusnya dilandasi oleh Kredibilitas, kapabilitas, elektabilitas serta akseptabilitas bukan sekedar popularitas. Dalam beberapa kasus, dimana kader IMM kurang mumpuni dalam adu duel di arena kontestasi politik, kader IMM seringkali keluar dari jalur-jalur yang menjadi identitas Islam dan Muhammadiyah.
Banyak anggapan bahwa nilai normatif Islam gagap dalam menerjemahkan realitas sehingga politik sekular sering dijadikan tumpuan gerakan. Akibatnya, bangunan organisasi yang dibangun atas dasar semangat berlomba-lomba dalam kebaikan terkontaminasi oleh virus berlomba-lomba dalam menyingkirkan. Bukannya melakukan kebaikan dengan kebaikan tapi malah melakukan kebaikan dengan keburukan.
Sikap saling curiga, waswas dan saling menuding antara satu dengan yang lainnya tak terhindarkan. Sebuah ruang diskusi tentang kekuasaan akan lebih menarik bagi kader IMM daripada berdebat soal wacana kebangsaan beserta problematika birokratik dalam tatanan NKRI.
Boro-boro mikirin soal negara, urusan kuliah, IPK, dan cepat jadi sarjana serta terjun ke dunia kerja adalah prospek jangka panjang yang mesti didahulukan. Oh iya, by the way bicara soal prospek kerja masa depan tentu karir organisasi juga harus bagus dong, biar bisa jadi pegawai negeri, menteri atau komisaris.
Layak untuk kembali dipertanyakan, saat ini apakah IMM sebagai salah satu organisasi Islam merupakan bagian dari umat terbaik sebagaimana yang dikatakan oleh QS. Al-imran, atau justru sebaliknya, IMM sama halnya seperti buih di lautan disebabkan oleh sikap mementingkan kuasa tapi buta aksara, tak punya kredibilitas hanya mengejar popularitas, serta unggul dalam kuantitas rapuh dalam kualitas. Rasanya pembaca yang budiman mampu menerka jawabannya.
Penyintung : Mustofa Dahlan