Oleh: Moh Amirullah (Anggota Bidang Kader IMM FAI UAD 2022/2023)
Kita mengetahui bahwa filsafat merupakan disiplin ilmu yang sangat rumit, karena filsafat tidak lepas dari hal-hal yang berbau logika yang jelas sangat menguras pikiran. Namun, menurut saya filsafat merupakan kajian yang sangat mengasyikan karena menyatukan opini, intuisi, serta imajinasi yang membuat saya menjadi lebih hidup.
Filsafat adalah suatu kajian yang berkaitan dengan eksistensi setiap kehidupan. Eksistensi memiliki keterkaitan antara yang satu dengan yang lainya. Artinya setiap maujud yang bereksistensi memiliki hubungan dengan maujud yang lain.
Jika ini benar, maka pengetahuan yang benar tentang wujud berarti kalkulasi pikiran-pikiran tentang sejumlah maujud yang saling terkait, sebagaimana keterkaitan antar maujud. Tak dapat dipungkiri, pengetahuan yang terbatas pada sebagian wujud berarti ketidaktahuan. Dalam kehidupan ini untuk mengetahui keterkaitan antar maujud dibutuhkan bahasa pengantar, disini letak bahasa menjadi sangat penting.
Cinta Sebagai Bahasa Pengantar
Cinta adalah sesuatu yang masih menjadi misteri, banyak orang mengatakan cinta namun sedikit sekali yang memahami apa itu cinta.
Cinta bukan hanya sekedar kata-kata melainkan sebuah rasa yang melebur ke dalam setiap hati manusia, sedangkan kata hanyalah sebuah perantara. Jalaluddin Rumi menggambarkan bahwa โkata-kata hanya bayang-bayang hakikat, cabang dari kenyataanโ. Jika bayang-bayangnya saja mempunyai daya tarik maka apalagi hakikatnya.
Ia juga pernah mengatakan โpikiranku yang menghadirkan sosok ini padaku, pikiranku tidak berbicara padanya, โapa kabarmu?โ atau โbagaimana kabarmu?โ pikiranlah yang menarik sosok tersebut kesini, bukanlah kata-kata.โ
Kata-kata hanyalah perantara. Hal yang memunculkan ketertarikan seseorang dengan orang lain adalah unsur kesesuaian, bukan kata-kata. Bahkan jika seseorang melihat ratusan ribu mukjizat atau karamah pada diri nabi dan wali, namun jika tidak ada kesesuaian antara dirinya dan nabi atau wali tersebut, maka semua itu tidak ada gunanya.
Unsur kesesuaian itulah yang membuat seseorang bergairah dan gelisah. Ibarat jerami yang tidak memiliki unsur warna coklat kekuningan yang menjadikanya indah, maka jerami itu tidak menarik sama sekali. Unsur kesesuaian antara dua manusia itu tersembunyi tak tampak oleh mata, dan kemudian kata-katalah yang menjadi perantaranya.
Rabiah al-adawiyyah sastrawan sufi pernah menggambarkan cinta dalam syairnya yang berbunyi:
ุนุฑูุช ุงูููู ู ุฐ ุนุฑูุช ุงูููุงู # ูุงุบููุช ุงูููุจ ุนูู ู ู ุนุฐุงู
ููู ุช ุงูุงุฌูู ูุง ู ู ุชุฑุงู # ุฎูุงูุง ุงููููุจ ุนูู ู ุง ูุฑุงู
ุงุญุจู ุญุจูู ุญุจุง ุงูููู # ูุญุจุง ูุฃูู ุงูู ูุฐุงู
โAku mengenal cinta sejak aku mengenalmu, sejak saat itu hatiku tertutup untuk selainmu
Tatkala aku bangun aku tak melihat engkau, namun hatiku meyingkap rahasia melihatmu
Aku mencintaimu dengan dua cinta, karena aku mencintaimu dan karena engkau pantas dicintaiโ
ย
Tasawuf Sebagai Revolusi Spiritual
Penting ditegaskan bahwa tasawwuf bukanlah akhlak al-karimah, tak terkait dengan banyaknya ibadah, dan juga bukan ilmu hikmah (metafisika). Ini disampaikan untuk merespon kesalahpahaman sebagian orang terhadap tasawwuf.
Dalam berbagai kesempatan tasawwuf seringkali direduksikan sebagai akhlak al-karimah, sehingga ketika seseorang memiliki akhlak mulia dan perilaku etika-moral dalam kehidupan pribadi-sosialnya, maka ia akan dianggap sufi.
Begitu pula tasawwuf, seringkali disalah artikan sebagai kasrat al-ibadah (banyak ibadah), sehingga ketika orang rajin beribadah ia dianggap sufi. Bahkan tak jarang sufi diidentikan dengan mereka yang menggunakan pakaian tertentu seperti surban dan jubah. Abu Hasan al-Kharkhi menegaskan bahwa kesufian seseorang tidak ditentukan oleh jubahnya yang penuh tambalan atau sajadah lusuhnya yang dihamparkan.
Dalam kesempatan lain tasawwuf kerap diidentikan dengan ilmu hikmah (metafisika) yang erat dengan kesaktian, pengobatan, dan kemustajaban doa. Karena kegagalan berfikir ini banyak orang yang memiliki kelebihan tertentu dianggap sebagai sebagai sufi, dan memiliki maqam tinggi sebut saja Gus Syamsuddin, Gus Irfan (wesi yo wesi). Saya tegaskan tasawwuf bukan ilmu hikmah dan ahli hikmah tidak otomatis disebut sufi.
Maโruf al-Kharkhi menegaskan bahwa tasawwuf adalah merengkuh segenap hakikat ilahi dan berpaling serta menanggalkan segala yang ada ditangan makhluk. Dengan kata lain tasawwuf adalah mencari kebenaran dan berpaling dari kepalsuan.
Penegasan ini bukan untuk mengatakan bahwa seorang sufi itu tidak berakhlak mulia, bukan pula orang yang enggan beribadah. Sebaliknya seorang sufi pasti berakhlak mulia dan rajin beribadah, akan tetapi tidak semua yang berakhlak mulia dan rajin beribadah disebut sufi.
Dr. Abu al-illa afifi mengatakan bahwa tasawwuf merupakan revolusi spiritual, ini artinya tasawwuf tidak menyebabkan seseorang menjadi pasif, berdiam diri dan pasrah terhadap realitas yang ada. Sebaliknya, ini akan menjadi sebuah perjalanan menanjak, tasawwuf menuntut adanya perjalanan tanpa henti dari sesuatu ke sesuatu yang lebih jauh.
Guru saya Fulan ibnu Fulan pernah berkata bahwa tasawwuf bukan berarti menanggalkan keduniawian, akan tetapi sifat-sifat keduniawiannya lah yang harus ditanggalkan. Pada era modern seorang sufi haruslah memiliki banyak harta, mobil yang mewah, rumah yang megah, agar dapat membantu orang-orang yang memang secara lahiriyah miskin.
Banyak sekali dai-dai berbicara tentang keimanan, mendakwahkan tentang ajaran islam, namun itu hanya terhenti diucapan saja. Keimanan harus ditunjukkan dengan perbuatan, dalam satu nash dikatakan bahwa โtidak lengkap keimanan sesorang ketika ia makan namun tetangga kelaparanโ. Ketika terjadi hal yang demikian dalam dunia nyata, di sini keimanan diuji apakah ia yang kelaparan atau membiarkan tetangga yang kelaparan?
Seseorang yang belum menanggalkan sifat keduniawiannya meskipun ia rajin beribadah atau bahkan berakhlak mulia sekalipun akan lebih memilih ia yang kenyang dibandingkan ia kelaparan. Berbeda dengan sebaliknya ketika sifat keduniawian telah ia tanggalkan, rasa lapar pun tidak menjadi masalah asal tetap bersama sang kekasih.
Moralitas Sebagai Kekuatan Revolusi
Persoalan kemiskinan dan ketidakadilan masih menjadi salah satu persoalan yang tidak akan tuntas di negeri ini. Kemiskinan dianggap sebagai aib lemah kehidupan bahkan bullying terhadap masyarakat kelas masih sangat tinggi.
Padahal al-Qurโan dengan jelas dan tanpa ragu-ragu berdiri dipihak golongan masyarakat lemah. Dalam menghadapi para penindas bahkan al-Qurโan menyesalkan dan menegur orang-orang yang tidak mau menolong mereka yang teraniaya.
Peringatan itu berbunyi โMengapa kamu tidak berperang di jalan Allah dan membela orang-orang yang tertindas, laki-laki, perempuan, anak-anak, yang berkata, โTuhan kami! Keluarkan kami dari kota ini yang penduduknya berbuat zalim, berilah kami perlindungan dan pertolongan dari-Mu!โ (4:75).
Teologi Qurโani tidak hanya dengan keras mengecam eksploitasi, arogansi kekuasaan dan penindasan, namun juga memerintahkan kepada orang-orang yang beriman untuk memerangi orang jahat ini dan menyelamatkan golongan yang lemah dan tertindas sebagaimana dikatakan dalam ayat di atas. Selanjutnya al-Qurโan juga menegaskan janji Allah untuk mengangkat golongan lemah dan tertindas sebagai pemimpin yang berkuasa, hal ini tercantum dalam al-Qurโan surah al-Qashash (28:5) yang berbunyi โKami ingin memberikan karunia kepada mereka yang tertindas di atas muka bumi dan menjadikan mereka sebagai pemimpin dan pewarisโ.
Artinya apa? dengan kata lain pusat gerakan kerakyatan adalah masyarakat kelas menengah ke bawah bahkan cenderung masyarakat kelas bawah yang hidupnya di bawah garis kemiskinan. Bahkan dari dua puluh lima nabi yang wajib diketahui itu hampir semuanya lahir dari golongan kelas bawah kecuali Nabi Sulaiman, itu pun bisa dimaklumi karena lawannya adalah Ratu Bilqis yang terkenal dengan arogansi kekuasaannya yang bisa dibilang gila.
Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad pada awal periode penyebarannya di Makkah bisa dikatakan hampir mayoritas pemeluknya itu dari kalangan kelas bawah. Sebut saja Bilal bin Rabbah (seorang budak hina yang hampir dibunuh majikannya namun diselamatkan oleh Abu Bakar) kini siapa yang tidak mengenalnya, bahkan kini sering disebut-sebut pejuang revolusioner.
Kesimpulanya adalah โtasawwufโ membuat seseorang lebih yakin akan Tuhanya, cinta membuat seseorang lebih terikat, dan filsafat membuat seseorang lebih bisa menggunakan nalarnya dalam segala hal. Perpaduan tiga hal ini membentuk sebuah moralitas yang luar biasa dan bisa menjadi sebuah kekuatan yang tak akan mudah untuk dikalahkan. Ketika kader IMM dapat menerapkan tiga perpaduan ini dalam tindakan keseharianya, maka mewujudkan masyarakat islam yang sebenar-benarnya bukan lagi hanya angan-angan atau bualan semata.
Penyunting: Irvan Chaniago