Oleh: Amirullah (Demisioner IMM FAI UAD 2020)
ย
Sekilas Tentang Peradaban Islam
Islam adalah sebuah agama yang dibawa dan disebarkan oleh Nabi Muhammad, seorang pemuda yatim piatu yang lahir dari keluarga miskin namun terhormat. Semasa hidup dan beberapa dekade setelahnya Islam tumbuh menjadi kekuatan yang mendominasi, di masa awal Islam menjelma menjadi kekuatan yang dapat menghancurkan dominasi saudagar-saudagar kaya penguasa Mekkah pada waktu itu. Sebut saja Abu Sufyan bin Harb, bagaimana ia mati-matian memerangi Nabi dan Islam, meskipun beberapa tahun kemudian ia masuk Islam dikala Mekkah ditaklukan oleh Islam.
Peradaban Islam merupakan suatu format konstruktif[1] bagi suatu hasil dari pencapaian dari program transmisi, transformasi dan sosialisasi prinsip-prinsip dan nilai-nilai Islam dalam kehidupan sehari-hari kaum muslimin, baik yang bersifat individual maupun kolektif guna membentuk konsepsi masyarakat Islami. Pada giliran berikutnya, pola perilaku tersebut mampu menjadi rujukan masyarakat bersama sehingga muncul menjadi sebuah peradaban yang pernah hadir sebagai hegemoni (dominasi) dunia, atau Islam pernah mengalami pengglobalan sebelum adanya globalisasi modern barat, yang ditegakkan melalui penetrasi politik, ekonomi, dan budaya secara kombinatif.
Idealisasi seperti itu tentu saja selalu menjadi obsesi para intelektual dan masyarakat Islam pada umumnya, sebab memang sudah pernah terbentuk pola masyarakat impian tersebut. Hal ini pernah disinggung pengamat barat yakni A.J. Arberry[2] dalam buku yang ditulis oleh Mohammad Sholikhin (2008:10) mengatakan bahwa formulasi ideal dari bangunan Islam adalah teokrasi yang berfondasikan pada al-Qurโan, dan menemukan model elaboratif melalui sunnah Nabi Muhammad SAW.ย Model ideal inilah yang telah mampu memberikan inspirasi bagi kalangan reformis muslim selama hampir 14 abad lamanya untuk mewujudkan konsepsi โKota Tuhanโ dalam naungan Islam, sebagaimana pernah terwujud pada masa kota Madinah sebagai pusat negara di masa Rasulullah dan Khalifah sesudahnya.
Masa-masa Rasulullah dan Khalifaturrasyidin itu oleh para ilmuwan muslim disebut dengan masa Salaf as-shalih, yakni masa di mana elaborasi dan aktualisasi nilai-nilai Islam masih benar-benar mengacu pada konsepsi al-Qurโan sebagai masdhar al-ula[3] dalam Islam. Oleh para ilmuwan barat masyarakat Islam di masa Rasulullah dianggap sebagai masyarakat yang benar-benar mencerminkan masyarakat modern. Sebenarnya, kondisi alam modern saat ini, dianggap sebagai upaya pengulangan zaman modern dari masyarakat Islam di era Rasulullah di Madinah. Bahkan terlalu modern untuk ukuran sekarang sehingga hal semacam itu hampir tidak akan pernah bisa muncul kembali sampai kapan pun. Kemodernan ini lebih disebabkan kepada Islam yang merupakan ajaran yang bersifat sangat urban secara radikal dengan corak perkotaan yang cukup menonjol, yakni bercirikan kosmopolitanisme Islam[4] yang diajukan sebagai respon positif dan amat kuat terhadap iklim modernitas.
Tantangan Kejayaan
Moralitas selalu menjadi tantangan utama ketika hegemoni itu sudah didapatkan, eksploitasi, arogansi kekuasaan dan penindasan pun menjadi hal yang lazim dilihat, padahal Teologi Qurโani tidak hanya dengan keras mengecam eksploitasi, arogansi kekuasaan dan penindasan, namun juga memerintahkan kepada orang-orang yang beriman untuk memerangi orang jahat ini dan menyelamatkan golongan yang lemah dan tertindas sebagaimana dikatakan dalam ayat di atas. Selanjutnya al-Qurโan juga menegaskan janji Allah untuk mengangkat golongan lemah dan tertindas sebagai pemimpin yang berkuasa, hal ini tercantum dalam al-Qurโan surah al-Qashash (28:5) yang berbunyi โKami ingin memberikan karunia kepada mereka yang tertindas di atas muka bumi dan menjadikan mereka sebagai pemimpin dan pewarisโ.
Kejayaan tidak hanya menjadikan manusia-manusia di dalamnya lalai, namun juga terbuai akan keadaan yang ada, sehingga efek yang ditimbulkanya pun lambat laun akan menjadi sesuatu yang justru menghancurkan kejayaan yang sudah dibangun itu. Lantas apa yang harus dilakukan untuk mempertahankan kejayaan itu?
Islam mengajarkan umatnya untuk selalu berpegang teguh kepada al-Quran dan Sunnah, bukan hanya dengan kata-kata dan narasi yang ada saja, melainkan dengan retorika dan keadaan kondisi yang ada. Kaidah al-Muhafadzatu โala Qadim as-Salih wal-Akhdzu bil Jadid al-Aslah (berpijak kepada kebiasaan lama dan bijak merespon kekinian) harus lah digunakan dengan sebaik mungkin sehingga paradigma berfikir syariat pun akan semakin luas dan luwes.
IMM dan Tantangan Masa Kini
IMM yang sudah melaksanakan miladnya yang ke-60 seharusnya sudah cukup untuk memahami situasi yang ada. 60 tahun bukan lagi usia yang muda, langkah kader dalam menghadapi situasi pun semakin di uji. Covid-19 yang terjadi beberapa tahun silam menjadikan arus muara semakin deras, ini hal yang harus dipahami oleh para kader. Kita ketahui bersama dampak besar yang terjadi akibat covid-19 dari perubahan kultur hingga ngopi โjika ada maunya ajaโ ditambah dengan arus digitalisasi yang semakin cepat menuntut setiap elemen untuk berbenah dengan cepat dan tepat.
Pengakaderan adalah hal yang terpenting dalam IMM, bukan hanya dimaknai secara formal dan simbolis saja, melainkan esensi juga perlu untuk didapatkan sebab militansi ada bukan karena hal yang formal maupun simbolis. Kakanda-Kakanda Immawan yang โdiatasโ pastinya tau akan hal itu, sehingga tak perlu lagi untuk dijelaskan lebih jauh akan hal itu.
Pada intinya perlu untuk ditinjau kembali formula yang tepat untuk melanjutkan pengkaderan, serta membangkitkan kembali militansi para kader layaknya para sahabat nabi yang bahu membahu dalam mewujudkan kejayaan islam masa lalu.
[1] Suatu konsep yang menggunakan proses pembinaan, memperbaiki atau membangun.
[2] Arthur John Arberry seorang Orientalis barat yang lahir sekitar tanggal 12 mei 1905-2 oktober 1969 di Cambridge, Inggris
[3] Sumber rujukan utama, digunakan oleh masyarakat muslim di masa kepemimpinan Rasulullah dan Khalifaturrasyidin (Abu Bakar, Umar, Utsman, Ali)
[4] Sebuah gagasan seluruh umat manusia adalah anggota komunitas yang sama.