Oleh: Abdur Rahman Soleh (Anggota PK IMM FAI UAD Bidang RPK 2023-2024)
Aku ingin
Meletakkan sekuntum sajak
Dimakam Nabi
Supaya sejarah menjadi jinak
Dan mengirim sepasang merpati.
(Makrifat Daun, Daun Makrifat)
Kuntowijoyo merupakan salah satu cendikiawan muslim Indonesia yang telah melahirkan banyak karya-karya intelektual di dunia pemikiran Islam di Indonesia. Di samping sejarawan terkemuka, beliau juga dikenal sebagai sastrawan dan budayawan. Beliau juga produktif dalam menulis cerpen, novel, naskah drama, serta puisi. Tiga karya cerpennya bahkan memenangkan predikat Cerpen Terbaik Kompas tiga kali berturut-turut pada tahun 1995, 1996, dan 1997. Karya cerpennya yang sudah terbit antaranya adalah Kereta Api yang Berangkat Pagi Hari, pasar, dan Khotbah. Karya puisinya yang juga sudah terbit antara lain Isyarat, Suluk Awang-Uwung, dan Makrifat Daun, Daun Makrifat.
Tulisan ini tidak bermaksud mengajak orang-orang untuk tidak berpartisipasi secara langsung maupun tidak langsung dalam urusan politik, terutama Politik Islam di Indonesia. Tulisan ini bermaksud mengemukakan beberapa pemikiran dari Kuntowijoyo dari bukunya “Muslim Tanpa Masjid” pada bagian esai-esai politik.
Struktur Budaya, Struktur Sosial dan Struktur Teknik
Menjamurnya pembentukan partai-partai poltik Islam pasca runtuhnya Orde Baru ternyata membawa aspirasi massa masing-masing. Hal itu menyebabkan umat terkotak-kotak secara politik yang dibuat oleh tangan umat sendiri: satu kotak untuk kaum tradisionalis, satu kotak untuk umat modernis, dan satu kotak lagi untuk umat puritan. Lebih lanjut, Kuntowijoyo menyebutkan hal tersebut membuat reformasi yang memiliki arti kebebasan demokrasi, dan transparansi berubah menjadi ketertutupan, pribadi, otoritarian, dan eksklusivisme.
Terdapat tiga struktur realitas sosial yang harus dipertimbangkan dalam mencermati sebuah kelompok, yaitu struktur budaya, struktur sosial, dan struktur teknik. Dengan memahami tiga struktur tersebut kita bisa mempertanyakan dimana letak parpol-parpol baru dalam realitas sosial, apakah parpol baru Islam berguna bagi ormas pembentuknya.
Struktur budaya adalah sentimen-sentimen kolektif atau nilai-nilai, termasuk di dalamnya ialah agama (Islam, Katolik, Protestan, Hindu dan Budha) dan nilai-nilai lain ( nasionalisme, liberalisme, kapitalisme, dan demokrasi). Dalam struktur budaya tumpang tindih diantara nilai-nilai merupakan hal yang tidak bisa terhindarkan, seperti orang yang beragama Islam, tetapi dalam politik menganut nasionalisme (Islam agamaku, nasionalisme politikku).
Struktur sosial ialah kelompok yang terorganisir dalam lembaga-lembaga, termasuk jamaah, umat, ras, dan suku. Organisasi NU dan Muhammadiyah terkadang menyebut diri sebagai jamaah atau umat.
Struktur teknik ialah realitas sosial yang menjadi sarana mencapai tujuan kenegaraan, seperti struktur kepemimpinan, struktur kekuasaan (legislatif, eksekutif), struktur kepartaian, dan struktur kepemilikan (kelas sosial).
Partai baru pada umumnya mempunyai struktrur budaya dan struktur teknik, atau struktur sosial dengan teknik. Ada pula partai yang hanya memiliki struktur teknk saja. Partai baru yang memiliki struktur budaya (Nilai) diantaranya PUDI (Partai Uni Demokrasi Indonesia) dengan demokrasi, PNI (Persatuan Nasional Indonesia) dengan Nasionalisme dan PPI (Partai Perempuan Indonesia) dengan feminisme. PSII dan “Partai NU” mempunyai struktur budaya dan struktur sosial.
Parpol Islam
Menurut Kuntowijoyo, semua ormas Islam memiliki struktur budaya dan struktur sosial, sehingga jika ingin menjadi partai tinggal menambahkan struktur teknik saja. Ormas Islam masih mempunyai masalah internal seperti Muhammadiyah yang punya masalah dari anggotanya yang mulai bergeser dari wiraswastawan ke pegawai negeri, kelangkaan ulama. NU punya masalah karena anggotanya masih berbasis pedesaan, kurang informasi dan rendahnya mobilisasi sosial.
Menurutnya, ormas-ormas Islam mempunyai masalah besar seperti bagaimana mengangkat umat dari bawah tangga sosial yang pada umumnya orang Islam tidak competitive, era globalisasi yang menjadi ancaman serius bagi umat. Lebih lanjut, ormas Islam yang bergerak ke politik hanya akan mengurangi perhatian, tenaga, dan dana dari masalah yang lebih penting dan substansional bagi umat. Karena itu, pembentukan parpol Islam tidak perlu.
Alasan-alasan tidak perlu mendirikan partai Islam
Pertama, terhentinya mobilitas sosial. Ketika Indonesia merdeka ada harapan akan ada mobilitas sosial vertikal bagi wong cilik, namun, itu tidak terjadi. Yang terjadi adalah Indonesia tetap berada di tangan elite penguasa sebelumnya. Kekecewaan itu menyebabkan revolusi sosial yang dipelopori oleh wong cilik abangan di beberapa daerah seperti, Peristiwa Tiga Daerah di Jawa Tengah Utara, Revolusi Sosial di Sumatra Timur, dan Perang Cumbok di Aceh.
Kedua, disintegrasi umat. Pada tahun 1970-1990 telah terjadi konvergensi antara wong cilik dan priayi, konvergensi abangan dan santri, serta konvergensi aliran agama antara tradisonalis, puritan dan modernis. Pada tahun-tahun tersebut terjadi hubungan yang akarab di internal umat, seperti NU dan Muhammadiyah, dalam kepengurusan ICMI mulai tingkat pusat, orwil maupun orsat sudah tidak memperhitungkan lagi aliran-aliran agama. Pada tahun 1970-1990 terjadi perubahan sosial dimana Islam secara politis tenggelam, tetapi secara budaya mencair.
Kemunculan partai-partai Islam akan menyebabkan konvergensi berakhir, hubungan aliran-aliran agama yang telah mencair akan mengkristal kembali. Orang NU akan memilih “Partai Kebangkitan Umat”, orang Muhammadiyah akan memilih “Partai Muhammadiyah”.
Ketiga, umat menjadi miopis. Orietasi umat terhadap politik di khawatirkan, umat hanya mampu melihat realitas-realitas yang dekat dan hanya memikirkan masalah-masalah jangka pendek. Kuntowijoyo menjelaskan, orientasi politik bahwa kekuasaan akan dapat menyelesaikan banyak masalah, ternyata hanya benar dalam jangka pendek.
Hal itu dibuktian dengan sejarah umat, misalnya, “kemenangan” Islam dalam menyatukan lembaga pendidikan pesanten dengan sistem pendidikan nasional hanya baik di permukaan, di bawah permukaan menyebabkan ketergantungan umat terhadap negara. Pemuda Islam menjadikan PNS sebagai cita-cita dan hilangnya semangat dalam berwiraswasta dalam diri umat. Lebih lanjut, dalam catatan sejarah, kekuasaan Islam di Spanyol yang berlangsung selama tujuh abad (VIII-XV) tidak membekas jika tidak ada arsitektur, filsafat, iptek, dan kesusastraan. Dinasti Mughal di India yang berlangsung pula selama tujuh abad tidak bisa mengi-Islamkan orang-orang India.
Sejarah Indonesia menunjukkan sebaliknya, bahwa para wali yang berhasil meng-Islamkan Nusantara bukan para raja-raja. Hindia-Belanda sendiri yang konon yang menjajah Indonesia selama kurang lebih 350 tahun tidak mampu meng-Kristenkan orang-orang Indonesia.
Keempat, pemiskinan. Agama mampu memberikan banyak sinar; dakwah, filsafat, kehidupan sosial, kebudayaan, mitos, politik, sistem pengetahuan, dan sebagainya. Menurutnya, mendirikan parpol Islam hanya akan membunuh potensi-potensi tersebut untuk berkembang.
Kekayaan agama akan menjadi miskin jika putra-putri terbaik hanya diterjunkan ke politik. Penduduk Indonesia yang mayoritas adalah muslim masih banyak kekurangan dalam banyak hal. Sangat disayngkan masalah-masalah realitas, umat tidak bisa melihat. Menambah beban sosial umat denga politik adalah seuah dosa sejarah. Disini patut dipertanyakan tanggung jawab sejarah politik umat.
Kelima, runtuhnya proliferasi (penyebara). Depolitisasi sejak 1970-an telah menyebabkan proliferasi dalam kepemimpinan umat. Sebelumnya umat hanya mengenal tokoh politik seperti Muhammad Natsir dan Idham Chalid yang menjadi pusatnya, the tokoh.
Dengan proliferasi menyebabkan ada banyak nama-nama yang menjadi pusat dalam jaring-jaring sosial, sehingga tokoh menyebar ke bebeapa arah, tidak hanya ke arah politik saja. Proliferasi menyebabakan pengusaha, birokrat, ilmuwan, seniman, ulama, dan sebagainya menjadi tokoh umat. Kemunculam parpol akan menyebabkan tokoh politik menjadi satu-satunya tokoh umat.
Keenam, alienasi generasi muda. Hal yang tidak banyak orang ingat adalah lahirnya generasi mengambang (non-sektarian). Generasi ini muncul karena adanya mobilitas geografis sehingga menyebabkan orang tersebut tercabut dari akarnya dan kehilangan reference group (kelompok rujukannya). Mereka berpindah-pindah, dan menyaksikan keanekaragaman dalam agama. Generasi mengambang terjadi ketika orang tidak menghayati lagi aliran-aliran keagamaan, sehingga aliran apa saja boleh yang penting Islam.
Ada cukup cahaya bagi orang yang ingin melihat.
(Sayidina ‘Ali)
Wallahu A’lam.