Oleh: Rizal Firmansyah Putra Moka (Kabid Hikmah IMM FAI UAD 2021/2022)
Sekilas ketika mendengar kata politik, mungkin yang pertama kali muncul dalam benak kita adalah stigma negatif, tabu, tipu muslihat, dan anggapan-anggapan buruk lainnya. Stigma tersebut tidak lain dipengaruhi oleh apa yang tampak dalam realitas, bahwa politik sering kali menjadi biang dari perpecahan dan permusuhan.
Dua orang bersaudara yang pada awalnya tampak baik-baik saja, secara mengejutkan bisa bertengkar hebat lantaran perbedaan pandangan politik. Tidak heran kemudian banyak orang yang berusaha menjauh dan enggan mengetahui perihal politik. Akan tetapi, tanpa kita sadari politik menyertai kehidupan kita sehari-hari.
Tindakan dan perilaku yang terlihat remeh sekalipun, ternyata tidak terlepas dari keputusan politik. Sebagai contoh, kita hendak memesan seporsi menu makanan orak-arik di Burjo terdekat seharga delapan ribu. Kita kemudian diberitahu bahwa harga orak-arik ternyata telah naik menjadi sembilan ribu.
Tanpa pikir panjang kita mengeluarkan selembar uang seribuan dan membayarnya pada kasir. Sepintas, kita menganggap toh hanya menambah seribu, apa susahnya. Namun, jika kita mau berpikir secara serius, ternyata naiknya harga orak-arik adalah dampak dari keputusan politik yang dibuat oleh pemerintah terkait dengan kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) sehingga turut mempengaruhi harga bahan pokok.
Artinya, meski kita enggan terlibat dalam hal-hal yang berbau politik, ternyata politik menuntut keterlibatan semua orang tanpa terkecuali meskipun hanya keterlibatan pasif. Aristoteles, seorang filsuf kenamaan Yunani kemudian menyebut manusia sebagai zoon politicon atau hewan yang berpolitik. Dengan kata lain, tidak ada tempat di mana manusia tidak berpolitik. Lantas, apa makna politik itu sendiri?
Pengertian Politik
Politik sendiri memiliki ragam istilah. Istilah politik dalam bahasa Inggris disebut politic, dalam bahasa latin disebut politucus. Sedangkan dalam bahasa Yunani disebut politicos yang berasal dari kata polis berarti kota.
Sementara itu, politik dalam bahasa Indonesia dipahami dalam tiga pengertian yakni;Β Pertama (pengetahuan) mengenai ketatanegaraan atau kenegaraan (seperti tentang sistem pemerintahan, dasar pemerintahan). Kedua, segala urusan dan tindakan (kebijakan, siasat, dan sebagainya) mengenai pemerintahan negara atau terhadap negara lain. Ketiga, cara bertindak (dalam menghadapi atau menangani suatu masalah).
Politik juga dikenal dengan istilah Siyasah dalam bahasa Arab. Secara harfiah, Siyasah bermakna pemerintahan, pengambilan keputusan, pembuatan kebijakan, pengurusan, dan pengawasan.Β Secara istilah, Siyasah memiliki arti pengurusan kemaslahatan umat manusia sesuai dengan syara’ (tuntunan syariat).
Untuk lebih jelas dalam melihat pengertian politik, setidaknya terdapat dua kategori umum, yakni tradisional (terdiri atas cara pandang klasik dan kelembagaan) dan behavioralisme (terdiri atas cara pandang kekuasaan, konflik, dan fungsionalisme).
Kategori Tradisional dan Behavioralisme
Kategori tradisional memandang politik dari segi normatif dan aturan-aturan baku serta menganggap bahwa ilmu politik hanyalah untuk memahami gejala politik bukan menjelaskan atau memprediksi apa yang akan terjadi di lapangan. Ilmu politik tradisional juga memandang bahwa politik merupakan perwujudan tujuan masyarakat-negara.
Dengan kata lain, ilmu politik adalah studi mengenai negara. Mempelajari tentang suatu negara demokrasi yang memiliki ciri pembagian kekuasaan antara eksekutif, legislatif, dan yudikatif merupakan contoh ilmu politik dalam pendekatan tradisional.
Penganut behavioralisme memberi kritik atas pandangan tradisional. Menurut penganut behavioralisme, politik harus dilihat apa adanya. Apa yang terjadi di lapangan, itulah definisi politik sesungguhnya. Mereka kemudian mendefinisikan politik sebagai kekuasaan, konflik, dan fungsionalisme.
Disebut kekuasaan sebab aktivitas politik selalu berhubungan dengan kekuasaan. William Alexander Robson, seorang akademisi berkebangsaan Inggris menyebut bahwa politik adalah cara untuk memperoleh kekuasaan, mempertahankan kekuasaan, melaksanakan kekuasaan, dan menentang pelaksanaan kekuasaan.
Politik juga didefinisikan sebagai konflik sebab dalam upaya merebut dan mempertahankan kekuasaan melahirkan perdebatan, persaingan, dan pertentangan. Sedangkan politik didefinisikan sebagai fungsionalisme berdasar pada politik yang difungsikan dalam kegiatan merumuskan dan melaksanakan kebijakan umum.
Satu ungkapan populer datang dari ilmuan politik bernama Harold Lasswell yang menganut pandangan fungsionalisme, bahwa politik adalah βwho gets what, when, and how” (siapa mendapat apa, kapan, dan bagaimana).
Dari ungkapan tersebut kita dapat memahami bahwa politik adalah persoalan siapa mendapatkan “apa”. Kata “apa” dipahami sebagai nilai-nilai. Nilai sendiri dapat bersifat abstrak seperti keadilan, kebebasan, dan persamaan. Nilai juga dapat bersifat konkret seperti perumahan, fasilitas kesehatan, atau sarana perhubungan dan komunikasi. “Kapan” merupakan ukuran pengaruh yang digunakan dalam menentukan siapa yang akan mendapatkan nilai terbanyak. Terakhir, “Bagaimana” adalah cara seorang mendapatkan nilai.
Kesimpulan
Secara sederhana politik dapat dikatakan sebagai suatu usaha untuk mencapai kehidupan yang baik yang dicita-citakan oleh masyarakat. Usaha mencapai kehidupan yang baik tersebut dapat dilihat melalui dua kategori yakni tradisional dan Behavioralisme.
Tradisionalisme condong pada aturan-aturan normatif sedangkan behavioralisme melihat politik berdasarkan apa yang terjadi di lapangan. Beberapa catatan penting untuk diingat bahwa dalam pandangan Behavioralisme, selain merebut, mempertahankan, melaksanakan dan menentang pelaksanaan kekuasaan, terdapat pula nilai-nilai yang hendak diterapkan atau ditolak keberadaannya. Artinya, politik tidak semata-mata soal kekuasaan, tetapi juga menyangkut nilai.
Nilai di sini mencakup nilai yang abstrak dan nilai yang konkret sebagai satu kesatuan yang saling mendukung. Kuntowijoyo menyebut nilai yang abstrak berangkat dari keimanan dari dalam diri individu yang secara perlahan akan mengarah pada nilai yang konkret berupa infrastruktur atau bangunan fisik yang menunjang keimanan tersebut.
Sebagai contoh, keimanan sebagai nilai yang abstrak mengatakan keadilan harus ditegakkan, maka dibentuklah infrastruktur berupa lembaga peradilan yang jujur dan tidak terikat dengan kepentingan tertentu sebagai bentuk nilai yang konkret.
Bagi Kuntowijoyo, berangkat dari nilai yang abstrak menuju nilai yang konkret itulah nantinya akan terbentuk suatu kehidupan politik yang harmoni dalam menunjang terwujudnya kehidupan ideal sebagaimana yang dicita-citakan oleh suatu masyarakat.
Penyunting: Irvan Chaniago