
Oleh: Muhammad Ilham (Kader IMM FAI UAD 2021)
Mungkin saya adalah orang yang kesekian dari kian banyaknya kader yang telah menulis, kader IMM yang ideal. Tapi kali ini saya ingin sedikit menyampaikan keresahan saya, melalui tulisan ini bahwa saat ini kader IMM telah hilang separuh nafasnya.
Sebelum itu penulis ingin menyampaikan βkaderβ itu apasih? pertanyaan yang tidak akan pernah mati dalam sebuah organisasi. Kader itu berasal dari kata cadre yaitu a small group of people specially trainedΒ for a particular purpose or profession (sekelompok kecil orang yang dilatih secara khusus untukΒ atau profesi tertentu) itu artinya orang yang dididik secara khusus untuk mewujudkan tujuan bersama.
Jika kader ini kita kontekskan dalam IMM adalah orang yang di didik secara khusus dalam forum-forum IMM baik secara formal (DAD, DAM, DAP dll) maupun secara non formal (seminar, diskusi, pelatihan dll). Untuk nantinya yang akan membawa misi peradaban yaitu terwujudnya masyarakat Islam yang sebenar-benarnya.
Ada salah satu dari pada Tri Kompetensi (Intelektualitas, Religiusitas, Humanitas) ini yang menjadi kekhawatiran bersama, yaitu βreligiusitasβ. Hilangnya nilai-nilai religiusitas dalam diri kader ini lah yang menjadi kekhawatiran dan tugas bersama untuk saling mengingatkan satu sama lain (nasihat).
Kemudian yang menjadi pertanyaan bersama kader ideal itu seperti apasih? bagi saya sendiri kader ideal itu ketika mampu menanamkan dalam dirinya nilai-nilai Intelektuialitas, Religiusitas dan Humanitas. Ketiga aspek ini harus mampu dijiwai oleh setiap kader terlebih khusus kader IMM yang kemudian disubstansialkan (implementasi) dalam kehidupan sehari-hari.
Bukankah pendahulu-pendahulu kita telah mengajarkan seperti itu, semisal pendiri Muhammadiyah yaitu K.H Ahmad Dahlan yang menjadi sosok pahlawan sekaligus contoh bagi kita semua. Beliau dengan prinsip teologi Al-Maunnya menerapakan atau membuktikan bahwa ke-intelektualitasnya dan rasa sosialnya yang begitu besar, kemudian dijiwai oleh nilai-nilai Religiusitasnya.
Dengan ini beliau mampu menjawab segala problematika yang dihadapinya kala itu, dan saya rasa kenapa Muhammadiyah masih tetap kokoh sampai pada hari ini karena keikhlasan beliau dalam membangun semua ini.
Saya rasa IMM sampai pada hari ini tidak krisis orang-orang yang berintelektual maupun berjiwa sosial. Buktinya hari ini IMM selalu peka terkait isu-isu aktual baik persoalan politik, ekonomi maupun sosial.
Bahkan IMM selalu turun kejalan untuk melakukan aksi demonstarsi. Itu rtinya nilai intelektualitas dan rasa sosialnya masih ada, akan tetapi di sisi lain nilai-nilai religiusitasnya lemah, bahkan kasarnya kader IMM sekarang biasa dikatakan krisis moral, tidak semua tapi realiatanya seperti itu.
Bukankah kita ini adalah kader profetik, kader yang menjadikan Rasulullah sebagai kiblat keilmuan. Lantas kenapa kita sekarang ini krisis nilai-nilai religiusitas, saya ingin mengutip apa yang pernah disampaikan oleh Ibnu Sina bahwa beliau said βeksistensilah yang mewujudkan esensiβ itu artinya kader sekarang bisa dikatakan juga krisi identitas, tidak paham posisinya sebagai kader itu seperti apa sehingga esensi yang diharapkan dari para kader tersebut tidak sesuai dengan harapan.
Apalagi kita sekarang sedang membawa misi peradaban yaitu masyarakat Islam yang sebenar-benarnya, memang misi ini adalah misi yang berat tapi itulah resiko menjadi kader IMM. Makanya jenderal Sudirman pernah mengatakan βsungguh berat menjadi kader Muhammadiyah. Ragu dan bimbang lebih baik pulangβ itu artinya saking beratnya menjadi kader Muhammadiyah.
Bukankah ini lebih berat dari pada misi yang dibawah oleh Rasulullah yaitu rahmatan lilalamin, beliau dakwah kesana-kesini kemudian dicaci maki dan dilempari kotoran dan lain sebagainya, tapi beliau tetap sabar. Artinya nilai-nilai religiusitas dalam jiwanya sudah menjadi darah daging. Jika hal serupa ini terjadi kepada kita sekarang, itu adalah hal yang kemungkinan besar tidak akan terjadi karena negara kita memiliki undang-undang.
Jika kita mengingat dan membaca kembali bagaimana kisah Muhammad Al-Fatih dalam misi penaklukan Konstatinopel, kota yang menjadi dambaan sultan-sultan sebelumnya yang ingin mereka taklukan. Tapi Muhammad Al-Fatih percaya bahwa hadis yang disampaikan oleh Rasullah itu akan jatuh kepada tanganya. Kemudian beliau di kader secara khusus oleh dua instrukturnya yaitu Syekh Ahmad dan Syamsudin orang kepercayaan ayahnya.
Kemudian beliau mengamalkan nilai-nilai Religiusitas yang diajarkan oleh instrukturnya mulai dari sholat, puasa, sedekah dan dll. Selain itu Al-Fatih belajar tentang fisika, kimia, strategi perang dan ilmu-ilmu lain.
Kemudian apa yang menjadi ibrah dari kisah ini untuk kita kader-kader IMM, bahwa keseimbangan dari pada nilai-nilai Intelektualitas, Relligiusitas dan Humanitas itu harus di jaga. Sehingga sebesar apapun misi yang kita bawa itu akan mampu kita raih, bukankah Allah mengatakan bahwa tidak akan menguji suatu kaum kecuali sesuai dengan batas kemampuanya dan sesuatu itu tidak akan pernah terwujud jika kita masih meremehkan hal-hal kacil.
Jadilah kader yang benar-benar totalitas dan jangan datang ketika butuh dan mati ketika ditanya. Terakhir perlu kita katahui bersama bahwa peradaban itu lahir dari kaum minoritas bukan kaum mayoritas. Semoga kita sehat dan sukses selalu, Aamin.
Penyunting: Irvan Chaniago