Proses Mewujudkan Masyarakat Marhamah Melalui Pendidikan Keluarga

Oleh: Ahmad Teguh Budiman (Ketua Umum IMM FAI UAD 2021/2022)

Islam adalah satu satunya agamanya yang memberikan suatu konsep atau tatanan bagaimana seharusnya manusia hidup di dunia berdasarkan fakta dan data yang kongkrit dari Al-Quran dan As-Sunnah. Namun realitanya di Indonesia sendiri yang negaranya mayoritas bergama Islam banyak yang tidak mencerminkan sebagaimana mestinya seorang muslim hal ini sebagaimana yang dikatakan oleh Muhammad Abduh “Aku pergi ke negara Barat, aku melihat Islam namun tidak melihat orang muslim. Dan aku pergi ke negara Arab, aku melihat orang muslim namun tidak melihat Islam). Perkataan ini sudah cukup lama berlalu kurang lebih sekitar 1 abad yang lalu, lantas mengapa perkataan ini masih relefan hingga sekarang? Apakah tidak ada yang membawa perubahan dalam rentang waktu satu abad ini? Atau dari umat Islamnya sendiri yang enggan untuk berubah?

Sebagai seorang muslim sudah sepatutnya kita memikiran problematika seperti ini agar kedepannya umat Islam tidak melakukan kesalahan yang serupa berulang-ulang kali. Tujuan dari artikel ini adalah memberikan sedikit gambaran tentang konsep Masyarakat Marhamah. Semoga yang membaca dapat terinspirasi, mengamalkan isinya, dan melanjutkan progress yang ada agar terwujudnya perubahan berupa terciptanya masyarakat yang marhamah.

Islam diturunkan oleh Allah SWT bertujuan untuk menyempurnakan akhlak. Sebagaimana Rasulullah bersabda,

عن أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّمَا بُعِثْتُ لِأُتَمِّمَ صَالِحَ الْأَخْلَاقِ .

“Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu meriwayatkan bahwa Rasulullah bersabda: sesungguhnya aku di utus untuk menyempurnakan akhlak” (H.R Al-Baihaqi dari Abu Hurairah r.a.)

Dari hadis ini diatas memberikan kita gambaran bahwa akhlak merupakan bagian dari Islam. Dan menurut Buya Yunahar Ilyas –Semoga Allah merahmatinya- akhlak mempunyai dua bagian yaitu akhlak mulia dan akhlak tercela, dan akhlak merupakan intisari dari seluruh ajaran agama Islam[1]. Akhlak juga merupakan salah satu bagian dari Iman, sebagaimana beberapa hadis yang menjelaskan tentang hubungan akhlak dan iman,

عَنْ أَبِي حَمْزَةَ أَنَسٍ بْنِ مَالِكٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ – خَادِمِ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: ” لاَ يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى يُحِبَّ لِأَخِيْهِ مَا يُحِبُّ لِنَفْسِهِ ” رَوَاهُ البُخَارِيُّ وَمُسْلِمٌ

Dari Abu Hamzah Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, pembantu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Salah seorang di antara kalian tidaklah beriman (dengan iman sempurna) sampai ia mencintai saudaranya sebagaimana ia mencintai dirinya sendiri’.” (HR. Bukhari dan Muslim).

Hadis di atas menjelaskan bahwa iman kita tidak akan sempurna hingga kita mencintai sudara kita seperti mencintai diri kita sendiri, yang dimaksud dengan mencintai saudara kita seperti mencitai diri sendiri adalah kita tidak menyukai apabila saudara kita mendapatkan suatu kesusahan sebagaimana diri kita tidak menyukai apabila kesusahan itu menimpa kita.

Dan setiap ibadah mempunyai muara akhir berupa pembersihan hati yang teraktualisasi dalam kehidupan sehari-hari yang berupa akhlak al-Karimah, sebagaimana ibadah sholat yang Allah SWT firmankan dalam Q.S Al-Ankabut : 45,

ٱتْلُ مَآ أُوحِىَ إِلَيْكَ مِنَ ٱلْكِتَٰبِ وَأَقِمِ ٱلصَّلَوٰةَ ۖ إِنَّ ٱلصَّلَوٰةَ تَنْهَىٰ عَنِ ٱلْفَحْشَآءِ وَٱلْمُنكَرِ ۗ وَلَذِكْرُ ٱللَّهِ أَكْبَرُ ۗ وَٱللَّهُ يَعْلَمُ مَا تَصْنَعُونَ

Artinya: “Bacalah apa yang telah diwahyukan kepadamu, yaitu Al Kitab (Al Quran) dan dirikanlah shalat. Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan-perbuatan) keji dan mungkar. Dan sesungguhnya mengingat Allah (shalat) adalah lebih besar (keutamaannya dari ibadah-ibadah yang lain). Dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan.

Terhadap ayat di atas Ahmad Azhar Basyir menyatakan bahwa ayat tersebut menegaskan peranan besar shalat dalam pembentukan moral. Orang yang selalu ingat kepada Allah akan terdorong untuk mengindahkan segala aturan-Nya dengan menjalankan amal yang diridhai oleh-Nya dan menjauhi perbuatan yang dimurkai-Nya[2]. Hal ini menjelaskan bahwa, ketika kita ingin membentuk suatu tatanan masyarakat adalah dengan memperbaiki diri kita yang dimulai dari sholat yang tiap hari kita kerjakan dan ketika kita ingin berbicara dan membentuk suatu tatanan masyarakat marhamah maka hal ini dimulai dengan mendefinisikan dua kata yaitu masyarakat dan marhamah.

Marhamah sendiri merupakan kata benda, berasal dari kata kerja arhama dan kata dasarnya adalah rahima yang artinya sendiri merujuk kepada sifat kasih sayang. Alasan sifat rahmah yang digunakan dikarenakan dari sifat kasih sayang terciptalah toleransi, saling tolong menolong dalam kebaikan. Tanpa adanya sifat rahmah ini manusia akan menjadi orang yang individualis, egois, dan tidak peduli terhadap orang lain. Sifat ini merupakan sifat yang alamiah yang dimiliki oleh makhluk ciptaan Allah, tidak ada satu pun makhluk di bumi yang mengingkari sifat kasih sayang karena dari awal kita lahir telah diajarkan oleh kedua orang tua bagaimana bentuk dari sifat kasih sayang.

Masyarakat adalah sekelompok orang dalam sebuah sistem semi tertutup atau semi terbuka yang sebagian besar interaksinya adalah antara individu-individu yang berada dalam kelompok tersebut. Kata society berasal dari bahasa latin societas, yang berarti hubungan persahabatan dengan yang lain. Societas diturunkan dari kata socius yang berarti teman, sehingga arti society berhubungan erat dengan kata sosial. Secara implisit, kata society mengandung makna bahwa setiap anggotanya mempunyai perhatian dan kepentingan yang sama dalam mencapai tujuan bersama. Kata “masyarakat” sendiri berakar dari kata dalam bahasa Arab, musyarak. Secara abstrak, sebuah masyarakat adalah suatu jaringan hubungan antar entitas-entitas. Masyarakat adalah sebuah komunitas yang interdependen (saling tergantung satu sama lain). Umumnya, istilah masyarakat digunakan untuk mengacu pada sekelompok orang yang hidup bersama dalam satu komunitas yang teratur.

Menjadi sebuah ironi jika membandingkan ajaran dan implementasinya yang tidak berbanding lurus di negara kita tercinta. Persoalan moral yang terjadi membuat kita terhambat dalam pengembangan negara, bagaimana tidak? jika korupsi masih merajalela, seks bebas masih marak, tawuran di berbagai tempat membuat kita semua sebagai anak bangsa yang berjalan seperti dalam keadaan merangkak yang berdampak pada ketertinggalan dengan negara-negara lain. Ahmad Syafi’i Maarif menyebut bahwa bangsa Indonesia merupakan bangsa religious dan bangsa muslim terbesar di dunia, dimana antusiasme beragama naik dari waktu kewaktu, namun anehnya sudah empat dekade Indonesia terkungkung oleh korupsi dan penyalahgunaan wewenang[3].

Pada bagian lain Mulyasa menyebutkan bahwa Indonesia saat ini telah berubah menjadi Negara dagelan, yang dipimpin oleh para pelawak atau actor kawakan. Mereka tanpa malu terlibat korupsi, kolusi, nepotisme dan skandal sex. Para pejabat dan anggota legislatif memperoleh kedudukannya dengan jalan membeli dengan uang, namun mereka sama sekali tidak malu. Karena mereka dan semua anggota masyarakat sudah menganggap hal itu sebagai sesuatu yang lumrah. Dalam kehidupan berbangsa dan bernegara belum tumbuh budaya malu, budaya mutu dan budaya kerja. Apa yang dikemukan di atas erat kaitannya dengan kualitas pendidikan dan kualitas sumber daya manusia, serta menunjukkan betapa rendah dan rapuhnya fondasi moral spiritual bangsa kita[4].

Kemunduran ini sebenarnya sudah dijelaskan oleh Rasullah SAW jauh-jauh hari tentang terputusnya simpul-simpul Islam,

عَنْ أَبِي أُمَامَةَ الْبَاهِلِيِّ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَيُنْقَضَنَّ عُرَى الْإِسْلَامِ عُرْوَةً عُرْوَةً فَكُلَّمَا انْتَقَضَتْ عُرْوَةٌ تَشَبَّثَ النَّاسُ بِالَّتِي تَلِيهَا وَأَوَّلُهُنَّ نَقْضًا الْحُكْمُ وَآخِرُهُنَّ الصَّلَاةُ

Artinya: “Dari Abu Umamah Al Bahili dari Rasulullah Shallallahu’alaihiWasallam bersabda: Sungguh ikatan Islam akan terurai simpul demi simpul. Setiap satu simpul terurai maka manusia akan bergantungan pada simpul berikutnya. Yang pertama kali terurai adalah masalah hukum dan yang paling akhir adalah sholat.”(H.R Ahmad)

Kesalahan dari kita adalah membiarkan semua itu terjadi begitu saja tanpa ada usaha, padahal hal tersebut merupakan cobaan untuk kita semua sebagai mana cobaan yang menimpa orang-orang terdahulu. Allah SWT juga telah berfiman dalam Q.S Al-Ankabut: 2

أَحَسِبَ النَّاسُ أَنْ يُتْرَكُوا أَنْ يَقُولُوا آمَنَّا وَهُمْ لَا يُفْتَنُونَ

Artinya: Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan: “Kami telah beriman”, sedang mereka tidak diuji lagi?. Maka sampai sini jelas bahwa hal-hal yang terjadi merupakan cobaan atau ujian untuk kita semua. Gambaran tentang ujian seorang muslim salah satunya adalah sebagaimana yang Rasulullah SAW sabdakan,

يُوشِكُ الْأُمَمُ أَنْ تَدَاعَى عَلَيْكُمْ كَمَا تَدَاعَى الْأَكَلَةُ إِلَى قَصْعَتِهَا فَقَالَ قَائِلٌ وَمِنْ قِلَّةٍ نَحْنُ يَوْمَئِذٍ قَالَ بَلْ أَنْتُمْ يَوْمَئِذٍ كَثِيرٌ وَلَكِنَّكُمْ غُثَاءٌ كَغُثَاءِ السَّيْلِ وَلَيَنْزَعَنَّ اللهُ مِنْ صُدُورِ عَدُوِّكُمْ الْمَهَابَةَ مِنْكُمْ وَلَيَقْذِفَنَّ اللهُ فِي قُلُوبِكُمْ الْوَهْنَ فَقَالَ قَائِلٌ يَا رَسُولَ اللهِ وَمَا الْوَهْنُ ؟ قَالَ حُبُّ الدُّنْيَا وَكَرَاهِيَةُ الْمَوْتِ

Artinya : “Nyaris tiba saatnya banyak umat yang memperebutkan kalian, seperti orang-orang makan yang memperebutkan hidangannya.” Ada seseorang bertanya, “Apakah karena jumlah kami sedikit pada hari itu?” Beliau menjawab, “Justru jumlah kalian banyak pada hari itu, tetapi ibarat buih di atas air. Sungguh Allah akan mencabut rasa takut kepada kalian dari dada musuh kalian dan menimpakan kepada kalian penyakit wahn.” Seseorang bertanya, “Apakah wahn itu, wahai Rasulullah?” Beliau menjawab “Cinta dunia dan takut mati.” (H.R. Ahmad: 21891 dan Abu Daud: 4297)

Maka untuk memperbaiki kecacatan yang ada dan bertujuan untuk menghadapi cobaan yang ada kita perlu untuk bersatu terlebih dahulu. Selanjutnya adalah memperbaiki sistem pendidikan yang ada karena pendidikan merupakan proses pembentukan diri beserta perbaikan regenerasi yang akan datang. Pendidikan diibaratkan sebagaimana sebuah pondasi di dalam rumah jika pondasinya buruk maka sebagus apapun tiang dan atap rumah tersebut akan mudah rusak disebabkan oleh pondasi jelek. Dan pondasi dalam pendidikan yang mendasar adalah keluarga. Ketika pertama kali seorang anak mengenyam pendidikan sudah pasti gurunya adalah kedua orang tuanya. Hal ini sebagaimana yang disampaikan oleh Khatib Ahmad Salthut bahwa “lingkungan keluarga, sekolah dan masyarakat merupakan pusat pendidikan, namun diantara ketiganya, lingkungan keluarga menjadi yang paling kuat pengaruhnya terhadap perkembangan anak”.

Pendidikan dalam keluarga berjalan sepanjang masa, melalui proses interaksi dan sosialisasi di dalam keluarga itu sendiri. Esensi pendidikannya tersirat dalam integritas keluarga, baik di dalam komunikasi antara sesama anggota keluarga, tingkah laku orang tua dan anggota keluarga lainnya semuanya merupakan sebuah proses pendidikan bagi anak-anak. Oleh karena itu, orang tua harus selalu memberikan contoh tauladan yang baik kepada anak-anak mereka, karena apa pun kebiasaan orang tua di rumah akan selalu dilihat dan dicerna oleh anak-anak.

Disamping itu proses pendidikan dalam keluarga berjalan secara alamiah dan kultural. Interaksinya tidak memiliki kurikulum secara baku dan sistematis, namun berjalan sesuai tuntunan dan ajaran (syariat) agama Islam, termasuk bagi pemberian pendidikan bagi anggota keluarga, dalam kacamata Islam, pendidikan menempati hal yang wajib (fardu) bagi keberlangsungan tatanan rumah tangga yang harmonis. Sehingga posisi pendidikan dalam keluarga menjadi kebutuhan mendasar (basic needs) sebagai pondasi untuk melanjutkan proses pendidikan selanjutnya diluar rumah. Ketika orang tua mengasuh dan membimbing anak-anaknya dirumah, maka pola yang dilakukan harus memperhatikan ajaran dan tuntunan agama Islam; memberikan kasih sayang, motivasi dan dukungan kepada anaknya, seorang anak berbakti kepada orang tuanya, saling menghormati dan toleran antar anggota keluarga, saling menghargai antara yang muda dan yang tua. Dinamisasi ini akan terwujud ketika seluruh komponen dalam keluarga saling mendukung dan melengkapi.

Kesimpulannya, masyarakat marhamah merupakan komunitas manusia yang ditandai dengan keimanan kepada Allah sehingga memiliki semangat ber amar maruf nahi munkar, musyawarah, tanggung jawab sosial untuk saling tolong menolong dan membantu sesamanya dalam kebaikan dan taqwa, di samping memiliki kesadaran sosial dan moral yang tinggi atas dasar keseimbangan.

Dalam membentuk suatu tatanan masyarakat, maka perlu untuk meningkatkan kualitas pendidikan sebagaimana yang Rasulullah SAW ajarkan. Hal ini juga disampaikan oleh Nelson Mandela “Karena pendidikan adalah senjata yang ampuh untuk mengubah dunia”. Dan proses pendidikan dimulai pada tingkatan dasar, yaitu keluarga.

 

[1]  (Yunahar Ilyas, Kuliah Akhlak, 2002: 6-11).

[2] (Ahmad Azhar Basyir, 2003: 53).

[3] (Ahmad Syafii Maarif 2000: 3-6)

[4] [4] (Ibid: 14)

 

Penyunting & Editor: Irvan Chaniago