Sejak kemunculan pandemi covid 19 di Wuhan China, Berbagai Negara di belahan dunia dipaksa untuk lebih cepat, cermat dan hemat dalam mengelola keuangan negara, begitu pula dengan Indonesia. Usaha demi usaha telah dilakukan untuk menggenjot perekonomian agar terhindar dari defisit.
Perekonomian negara merupakan sektor yang amat vital sehingga perlu disiasati sedemikian rupa secara hati-hati dan bijaksana demi kelangsungan dan keberlanjutan kehidupan masyarakat Indonesia.
Salah satu kebijakan yang diambil oleh pemerintah sebagai langkah pemulihan ekonomi adalah wacana penetapan PPN di sektor pendidikan dan sembako serta menaikkan tarif PPN dari 10% menjadi 12%. Wacana tersebut bocor ke publik dan menjadi perbincangan hangat di kalangan intelektual dan para aktivis, pasalnya wacana tersebut dianggap tidak berpihak kepada rakyat.
Wacana tersebut tercantum dalam draf rancangan undang-undang ketentuan umum perpajakan (RUU KUP) dan masih akan dibahas oleh pemerintah bersama DPR RI. RUU KUP digadang-gadang oleh pemerintah sebagai langkah pemerataan ekonomi dengan dalih keadilan sosial. Selanjutnya disebutkan PPN sembako bertujuan untuk menyasar konsumen menengah keatas yang terbiasa membeli sembako premium seperti Beras Basmati, Beras Shirataki, Daging sapi kobe, Daging sapi Wagyu, dan lain-lain. Sedangkan untuk konsumen kelas menengah kebawah yang terbiasa melakukan transaksi jual beli di pasar tradisional akan dikenakan PPN seminim mungkin sehingga tidak akan memberatkan masyarakat. Tidak jauh berbeda dengan PPN sembako, di sektor pendidikan pemerintah akan menyasar masyarakat yang menjangkau pendidikan elit dan berorientasi pada profit (profit oriented). Artinya pemerintah akan menerapkan PPN dengan multitarif sehingga angka 12% bisa berubah menjadi paling tinggi 15% atau paling rendah 5%.
Respon Wacana RUU KUP
Wacana PPN yang digodok oleh pemerintah menuai respon penolakan dari masyarakat dan organisasi sosial yang konsen di bidang pendidikan, sebut saja Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah. Menurut muhammadiyah, rencana penerapan PPN bidang pendidikan tersebut jelas-jelas bertentangan dengan jiwa konstitusi UUD 1945 Pasal 31 Pendidikan dan Kebudayaan, yang mengandung perintah (1) Setiap warga negara berhak mendapat pendidikan (2) Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya (3) Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional, yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, yang diatur dengan undang-undang (4) Negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya dua puluh persen dari anggaran pendapatan dan belanja negara serta dari anggaran pendapatan dan belanja daerah untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional (5) Pemerintah memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan menunjang tinggi nilai-nilai agama dan persatuan bangsa untuk kemajuan peraian serta kesejahteraan umat manusia.
Selain itu, wacana penetapan PPN di sektor pendidikan secara tidak langsung menafikan negara sebagai instrumen pendidikan itu sendiri.
Narasi pemerintah untuk menyasar instansi pendidikan elit (profit oriented) hanya akan menyuburkan praktik komersialisasi pendidikan di Indonesia. Senada dengan Muhammadiyah, Nahdlatul ulama juga menolak wacana PPN dengan alasan kemaslahatan.
Berdasarkan kaidah Ushul fiqih ‘tashorruful Imam alΔ raiyyah manthun bil maslahah’ (kebijakan seorang pemimpin harus didasarkan pada kemaslahatan bagi rakyat).
Mantan menteri keuangan Dr. Fuad Bawazier mengatakan bahwa narasi keadilan yang diklaim oleh pemerintah atas RUU KUP seolah mendiskreditkan UU KUP sebelumnya. Bagi Fuad, jika bicara terkait keadilan maka sebenarnya sudah diakomodir dipajak penghasilan.
Bagi orang yang tidak mampu ada yang namanya PTKP (penghasilan tidak kena pajak), bagi orang yang penghasilannya mencapai 50 juta, pajaknya 5% dan bagi orang-orang yang mampu dikenai pajak 30%. Sementara dibagian PPN, ada namnya PPBM (pajak penjualan barang mewah).
Analisis RUU KUP
Untuk lebih cermat dalam melihat isu PPN ini, kita perlu mengetahui kondisi perekonomian indonesia. Dilansir dari money.kompas.com bahwa anggaran pendapatan belanja negara (APBN) hingga mei 2021 mengalami defisit mencapai 219,3 triliun. Sebelumnya APBN pada tahun 2021 ditargetkan mencapai 1.743,6 triliun dengan anggaran belanja 2.750 triliun. Tercatat penerimaan negara hingga Mei 2021 baru mencapai Rp 726,4 triliun. Dari data tersebut kita mengetahui bahwa pemasukan negara baru mencapai angka 41,66% dari target APBN bersumber dari pajak bea cukai dan penerimaan negara bukan pajak (PNBP). Pajak sendiri menjadi penopang utama APBN sebesar 558,9 triliun, disusul PNBP sebesar 167,6 triliun.
Logika pemerintah untuk segera memulihkan ekonomi, maka pajak harus segera dibayar agar target APBN segera terpenuhi. Untuk mempercepat dibayarnya pajak maka diincarlah PPN karena secara otomatis ketika masyarakat membeli barang/jasa ia sekaligus membayar pajak. Menurut Dr. Fuad Bawazier justru untuk memulihkan ekonomi, yang seharusnya dilakukan adalah meningkatkan daya beli masyarakat menengah ke bawah, bukan malah mempersulit golongan bawah dan mempermudah kalangan pengusaha. Dilansir dari CNN Indonesia bahwa menteri Keuangan Sri Mulyani mengeluarkan kebijakan memberikan relaksasi penundaan Pajak Penghasilan (PPh) 22 impor dan PPh 25 kepada 19 sektor industri manufaktur.
Dengan pelonggaran ini, maka perusahaan tak lagi mencicil pembayaran PPh pasal 22 impor dari April hingga September. Sebagai gantinya, uang setoran pajak tersebut dapat digunakan untuk memperkuat arus kas perusahaan di tengah tekanan perekonomian akibat virus corona. Ini merupakan suatu bentuk diskriminasi yang dilakukan oleh pemerintah sehingga dengan ditetapkan PPN pada sembako malah akan mengakibatkan rendahnya daya beli di masyarakat menengah kebawah yang akan berdampak pada lemahnya perekonomian.
Pemyunting : Mustofa Dahlan